Jumat, 25 Maret 2011

Perkembangan Kebijikan Pemerintah




LATAR BELAKANG 
 Berbicara mengenai pemerintahan daerah tidak bisa lepas dari pembicaraan pemerintahan pada umumnya. Pemerintah dan pemerintahan mempunyai pengertian yang berbeda. Pemerintah merujuk  kepada organ atau alat perlengkapan, sedangkan pemerintahan menunjukkan  bidang tugas atau fungsi. Dalam arti sempit pemerintah hanyalah lembaga eksekutif saja. Sedangkan dalam arti luas, pemerintah mencakup  aparatur negara yang meliputi semua organ-organ, badan-badan atau lembaga-lembaga, alat perlengkapan negara yang melaksanakan berbagai kegiatan untuk mencapai tujuan negara. Dengan demikian  pemerintah dalam arti luas adalah semua lembaga negara yang terdiri dari lembaga-lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif.
 Dalam arti sempit pemerintahan adalah segala kegiatan, fungsi, tugas dan kewajiban yang dijalankan oleh lembaga eksekutif untuk mencapai tujuan negara. Pemerintahan dalam arti luas adalah segala kegiatan yang terorganisir yang bersumber pada kedaulatan dan kemerdekaan, berlandaskan pada dasar negara, rakyat atau penduduk dan wilayah negara itu demi tercapainya tujuan negara. Di samping itu dari segi struktural fungsional pemerintahan dapat didefinisikan pula sebagai suatu sistem struktur dan organisasi dari berbagai macam fungsi yang dilaksanakan atas dasar-dasar tertentu untuk mewujudkan tujuan negara. (Haryanto dkk, 1997 : 2-3).
 Secara deduktif dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan pemerintahan dibentuk berkaitan dengan pelaksanaan berbagai fungsi yang bersifat operasional dalam rangka pencapaian tujuan negara yang lebih abstrak, dan biasanya  ditetapkan secara konstitusional. Berbagai fungsi tersebut dilihat dan dilaksanakan secara berbeda oleh sistem sosial yang berbeda, terutama secara ideologis. Hal tersebut mewujud dalam sistem pemerintahan yang berbeda, dan lebih konkrit terwakili oleh dua kutub ekstrim masing-masing rezim totaliter (sosialis) dan rezim demokratis. Substansi perbedaan keduanya terletak pada perspektif pembagian kekuasaan negara (pemerintah). Pemencaran kekuasaan (dispersed of power), menurut Leslie Lipson, merupakan salah satu dari lima isu besar dalam proses politik (Josef Riwu Kaho, 2001 : 1).  Pemerintahan daerah merupakan konsekuensi pelaksanaan pemencaran kekuasaan itu.
















BAB  II
PEMBAHASAN

Problematika muncul berkait dengan pelaksanaan prinsip-prinsip desentralisasi dalam implementasi kebijakan  politik lokal dan pemerintahan daerah. Sesuai dengan uraian pada awal diskusi, penerapan pinsip desentraliasi sangat dipengaruhi cara pandang pemerintah terhadap fungsinya. Dengan alur logika itu, kebijakan politik lokal dan pemerintahan daerah oleh pemerintahan kolonial  akan dapat dipastikan berbeda dengan pemerintahan zaman kemerdekaan. Uraian berikut akan mencoba mengidentifikasi berbagai problematika politik lokal dan pemerintahan daerah yang menyangkut kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan diukur dari tingkat pelaksanaan desentralisasi.
Kecuali itu juga dapat dilihat secara kontekstual. Dalam arti  konteks sosial, politik dan ekonomi yang berkembang memaksa negara menentukan prioritas pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan. Sehingga sesuai konteksnya suatu fungsi lebih diprioritaskan untuk dilaksanakan dari pada fungsi yang lain. Dari perspektif demikian, dalam konteks Indonesia, dapat dipahami perbedaan kebijakan politik lokal dan pemerintahan daerah pada pada masa penjajahan dan pada masa kemerdekaan.
A. MASA PENJAJAHAN
Masa Pemerintahan Penjajahan  Belanda.
 Kebijakan Pemerintahan Daerah. Pemerintah Hindia Belanda (Gubernur Jenderal), yang memperoleh hak otonomi dari kerajaaan Belanda  berdasar Reglement op het beleid der regering in Nederlandsch-Indie (RR 1836), mengatur dan mengurus wilayah Hindia Belanda secara sentralisitis, melalui  pemberlakuan Regeringsreglement (Stb 1855/2). Kebijakan pemerintahan lokal dilakukan dekonsentrasi, yaitu tugas pemerintahan dilimpahkan kepada pejabat-pejabat pusat yang lebih rendah tingkatnya secara hierarkhis. Masing-masing pejabat pusat itu  yang tersebar di seluruh  wilayah negara itu menjalankan tugasnya dalam daerah administratif. Jadi, misalnya untuk Jawa menurut Reglement diatas terbagi dalam daerah-daerah administratif gewest (kemudian disebut residentie) yang masing-masing selanjutnya terbagi dalam afdeeling, district, dan onderdistrict.
 Dengan Decentralisatie Wet 1903 (Stb 1903/329), terbuka kemungkinan untuk membentuk gewest atau bagian dari gewest yang mempunyai keuangan sendiri untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Pengurusan kegiatan tersebut di atas dilakukan oleh setiap raad (dewan) yang dibentuk bagi tiap-tiap daerah yang bersangkutan. Urusan-urusan yang harus dibiayai dengan keuangan sendiri ini adalah pembangunan dan perbaikan jalan-jalan, jembatan, taman-taman dan riool-riool dan sebagainya. Pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang Desentralisasi 1903 ini dilakukan dengan Decentralisatie Besluit (Stb 1905/137) dan Locale Radenordonnantie (Stb 1905/181). 
Tinjauan. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan pemerintahan Hindia Belanda mengenai pemerintahan daerah dilatar-belakangi prinsip desentralisasi yang lebih bernuansa teknis-administratif (manajemen). Maksud kebijakan itu tidak lain untuk optimalisasi efisiensi pemerintahan dengan pengendalian yang ketat dari Batavia. Politik desentralisasi -- Decentralisatiewet 1903  dan Wet op de Bestuurshervorming (Stb 1922/216) -- hanya sekedar meredakan tuntutan, baik internasional maupun nasional, sebab penyerahan urusan hanya mencakup hal--hal yang tidak penting dan otonomi sangat sempit. (Harsono, 1992 : 59-60).
Lembaga-lembaga pemerintah daerah secara politik tidak mandiri. Berbagai kebijakan lebih banyak ditentukan pemerintah di Batavia. Fungsi pemerintah daerah lebih sebagai pelaksana kebijakan pusat dari pada penentu kebijakan lokal. Berbagai kebijakan lokal dikontrol secara ketat oleh Gubernur Jenderal. Untuk memungkinkan pengendalian itu susunan daerah dibuat secara bertingkat (hierarkhis). Dengan demikian dapat ditentukan span of control atau rentang kendali tingkat pemerintahan tertentu terhadap pemerintahan bahwan. Selain itu dilakukan melalui pola rekruitmen kepemimpinan. Semua lembaga pemerintah daerah dipimpin oleh pejabat pusat. Dewan daerah tidak diberi kekuasaan untuk menentukan pimpinan daerah setempat. Misalnya  sebagaimana diterangkan oleh Harsono,  Provinciale Raad (Dewan Propinsi) diketuai Gubernur, dan hanya berhak menentukan Badan Pemerintah Harian (College van Gedeputeerden) bila dipandang perlu. Walaupun tugas lembaga Provinciale Raad dan  Gubernur dipisahkan, tetapi kedua lembaga ini melakanakan tugas pembantuan. Gubernur sebagai aparat daerah melaksanakan tugas rumah tangga daerah dalam porsi yang relatif kecil (1992 : 60-61).
Dengan pola rekruitmen elit birokrasi yang demikian sentralistik, menciptakan pimpinan birokrasi pemerintahan daerah yang selalu berorientasi kepada pusat. Mereka lebih terdorong mengoptimalkan kepentingan pemerintah pusat di Batavia dari pada kepentingan daerah setempat. Penempatan para Bupati yang feodalistik pada status pegawai pemerintah memperkuat hal itu. Akibatnya basis legitimasi kepemimpinan daerah sangat lemah. Keadaan ini melahirkan pola-pola kepemimpinan yang represif yang tidak aspiratif dan cenderung merugikan rakyat. Mereka tidak menempatkan diri pada posisi sejajar dengan masyrakat, melainkan menempatkan diri mereka pada posisi patron. Sedangkan masyarakat diposisikan sebagai client dan dipandang sebagai obyek.
 Terhadap daerah-daerah yang lansung dikuasai, Pemerintah Hindia Belanda tidak mau ambil resiko dengan mengikuti prinsip desentraliasi devolutif  yang sarat dengan muatan politik, karena dengan demikian berarti membangun basis-basis politik lokal yang secara luas menentang penjajahan. Selain itu akan memunculkan pimimpin lokal yang mempunyai basis legitimasi kuat darti bawah sehingga sangat berpengaruh. Dengan potensi demikian, lebih jauh akan berakibat penentangan, pembangkangan dan pemberontahan yang luas dari berbagai komunitas lokal. Berdasar analisis di atas politik desentralisasi  pemerintah Hindia Belanda lebih pada penerapan prinsip dekonsentrasi yang mengandung arti desentralisasi administratif dari pada prinsip devolusi yang lebih berarti desentralisasi politik. Kebijakan semacam itu dapat berkait dengan kepentingan pemeritahan Hindia Belanda untuk mempertahankan kekuasaannya di Indonesia (The Liang Gie, 1993 : 23).
Sedangkan bagi daerah-daerah yang tidak langsung dikuasai, yakni kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, pemerintah Hindia Belanda mengikatnya secara paksa dengan perjanjian jangka panjang dan jangka pendek (Josef Riwu Kaho, 2001 : 25). Perjanjian itu sangat merugikan kerajaan-kerajaan tersebut, sehingga banyak menimbulkan penentangan dan pemberontakan diberbagai daerah di Indonesia. Dengan demikian pola-pola kekerasan dalam penentangan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda mewarnai politik lokal pada masa ini
Masa Pemerintahan Penjajahan Inggris
 Kebijakan Pemerintahan Daerah. Raffles, sebagai Kepala Pemerintahan penjajahan Inggris di Indonesia, yang berkedudukan di Pulau Jawa, memberlalukan kebijakan pemerintahan daerah yang lebih liberal, yakni berusaha menjauhkan para penguasa feodal -- para Bupati --dengan rakyat. Hal itu dimaksudkan untuk mengurangi beban berat yang ditanggung rakyat.
Lembaga Pemerintahan Daerah. Ia mempertahankan struktur pemerintahahn yang sudah ada dan menambahkan jumlah gewest sehingga mencapai 16 buah. Namanya diganti dengan Karesidenan yang dipimpin oleh seorang Residen dan dibantu seorang Asisten Residen. Setiap karsidenan dibagi ke dalam beberapa Distrik yang dikepalai Bupati dan selanjutnya setiap distrik dibagi lagi kedalam beberapa Subdistrik atau Division.
Tinjauan. Dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Raffles jauh lebih baik, dia lebih memperhatikan kepentingan rakyat serta lebih melindungi rakyat. Kekuasaan para feodal dibatasi, untuk guna melindungi kepentingan rakyat diusahakan menghubungkan pemerintah langsung dengan penduduk, tanpa melalui pimpinan atau kepalanya sendiri. Maksud itu diwujudkan dengan pembentukan pemerintahan Karesidenan yang diberi kekuasaan pemerintahan, peradilan dan penerimaan penghasilan negara. Dengan demikian  rakyat berhubungan langsung dengan pemerintah karesidenan, dan menjauhkan hubungan langsung dengan  para Bupati. Selain itu penggantian Contingenten stelsel dengan Landrente stelsel (stelsel pajak bumi) menmghapus kekuasaan para Bupati untuk menarik pajak dari rakyat. Maksud yang lain adalah menghapus lembaga bupati yang feodal dan tidak liberal. Perubahan yang dilakukan Raffles tersebut dijiwai nilai-nilai demokrasi pada saat itu (Harsono, 1992 : 46-47).
Dengan demikian pada masa kekuasaan Raffles ini lembaga-lembaga pemerintah daerah dan kepemimpinan -- Bupati -- dipandang sebagai instrumen penting yang perlu diperbaiki dalam upaya pelayanan kepada rakyat. Namun demikian politik desentralisasi yang dilakukan masih tetap jauh dari devolusi, melainkan lebih menekankan pada desentralisasi administrasi. Fungsi pemerintahan lebih menekankan  regulasi, sedangkan fungsi-fungsi pelayanan dan pembnerdayaan belum tersentuh. Berbagai kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan pemerintahan sangat sentralistik.

Masa Pemerintahan Pendudukan  Jepang
 Kebijakan Pemerintahan Daerah. Pada waktu bala tentara Jepang berkuasa, Pemerintah Jajahan Jepang melaksanakan pemerintahan militer di wilayah Hindia Belanda berdasar UU No. 1 tahun 1942. Pemeritahan daerah diatur dengan  Osamuserei No. 27 tahun 1942 , yang menetapkan :
a. Jawa dan Madura, kecuali wilayah Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, dibagi atas beberapa Syuu (Karesidenan) sebagai daerah tingkat teratas yang mempunyai pemerintahan sendiri sebagai suatu kesatuan dalam masa pemerintahan militer Jepang. Syuu membawahi; Si (Statsgemeente), Ken (Regentschap), Gun (Distrik/Kawedanan), Son (Onderdistrict), dan Ku (Desa). Tokubetu Si mempunyai kedudukan yang lebih kurang sama seperti Syuu, karena itu tidak berada di bawah Syuu, melainkan langsung dibawah Gunseikan;
b. Untuk masing-masing daerah itu diangkat seorang kepala pemerintahannya yang disebut Tyo, jadi berturut-turut terdapat Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo, dan Sityoo;
c.  Urusan yang semula dijalankan Bupati, Wedana, Asisten Wedana, Kepala desa, Kepala kampung (Wijkmeester) yang berada di Daerah Si (kota), diambil alih oleh Sityo;
d.  Di samping itu ada Daerah Istimewa yang ditentukan oleh Gunseikan, yang disebut Tokubetsu Si;
e. Sepanjang tidak diubah oleh Pemerintah Balatentara Jepang, ketentuan-ketentuan dalam Regentschaps ordonnantie dan Stadsgemeente-ordonnantie dulu tetap berlaku bagi Ken dan Si (termasuk Tokubetu Si);
f.  Wewenang-wewenang yang dulu dijalankan oleh raad dan college pemerintah harian dan regentschap dan stadsgemeente kini semuanya dijalankan oleh Kentyoo dan Sityoo. Jadi yang dianut ialah sistim pemerintahan tunggal oleh satu orang;
g. Sistem pemerintahan tunggal tanpa dewan perwakilan rakyat dilaksanakan secara konsekuen sampai September 1943. Dalam bulan tersebut ditetapkan peraturan yang mengatur pembentukan dewan-dewan baik di pusat maupun di daerah yang berfungsi sebagai badan penasehat bagi pejabat tunggal itu. Tapi dalam lingkungan pemerintahan daerah dewan ini hanya diadakan di Syuu dan Tokubetu Si
8. Si menyelenggarakan segala urusan pemerintahan dalam lingkungan wilayahnya. Urusan pemerintahan umum (pangreh praja) yang dalam stadsgemeente dulu diurus oleh regent dan pejabat-pejabat bawahnya kini dipegang oleh Sityoo;
9. Pengawasan terhadap daerah-daerah otonom yang dulu dipegang oleh Gouverneur-General dan aparatur pemerintahan provincie kini semuanya dilakukan oleh Gunseikan.
            Mengenai persekutuan-persekutuan masyarakat adat dan zelfbesturende landschappen di Jawa, tetap dipertahankan seperti keadaan pada zaman Hindia Belanda. Hanya ada perubahan nama, yaitu Desa di sebut Ku dan Landschap dinamakan Kooti. Para raja landschappen, melalui pelantikan baru dan pengambilan sumpah untuk memutuskan hubungannya dengan Kerajaan Belanda disebut Koo. Kedudukan Koo dianggap sebagai anggota keluarga dari raja Jepang. 
             Hal terpenting yang ada dalam Osamuseiri No.28 tahun 1942 adalah ditetapkannya Yogyakarta dan Surakarta yang diubah menjadi Kooti. Syuu dan Kooti merupakan daerah yang berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi atau pangan, sedangkan Si dan Ken dinyatakan tetap sebagai Daerah Otonom akan tetapi keputusan-keputusannya dapat dibatalkan oleh Syuutyokan. Kemudian untuk Karesidenan dibentuk sebuah Dewan yang disebut Syu Sangi Kai yang anggota-anggotanya diangkat. Dewan-dewan ini pada hakikatnya hanya melaksanakan perintah-perintah  Bala Tentara Jepang.
Kelembagaan Pemerintahan Daerah. Dengan berdasar UU No. 1 tahun 1942, bala tentara Jepang menerapkan pemerintahan militer di bekas wilayah Hindia Belanda. Wilayah bekas Hindia Belanda dibagi dalam 3 wilayah komando pemerintahan, yaitu :
a.      Sumatra di bawah komando Panglima Angkatan Darat XXV yang berkedudukan di Bukittinggi;
b.      Jawa dan Madura berada di bawah komando Panglima Angkatan Daerah XVI yang berkedudukan di Jakarta;
c.       Daerah lainnya berada di bawah komando Panglima Angkatan Laut yang berkedudukan di Makassar.
            Pemerintahan yang berada dibawah kekuasaan militer tersebut dilaksanakan oleh Komando Angkatan masing-masing yang disebut Gunseikan. Baru pada 11 September 1943, kekuasaan pemerintahan berada dibawah satu tangan, yaitu Saikosikikan yang berkedudukan sebagai Gubernur Jenderal. Kekuasaan Saikosikikan dilakukan oleh Kepala Staf (Gunseikan) yang sekaligus adalah Kepala Staf Angkatan Perangnya.
Dalam Agustus 1942 Gunsireikan menetapkan Undang-undang 1942/27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah.. Menurut UU ini Jawa dibagi dalam 5 daerah Syuu (ini sama dengan residentie pada masa Hindia Belanda). Syuu dibagi dalam Ken (dulu regenschap) dan Si (stadgemeente). Selanjutnya diadakan pula Tokubetsu Si (statgemeente luar biasa), yaitu kota yang sangat penting dalam lapangan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan yang khusus ditunjuk oleh Gunseikan. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata Jakarta merupakan satu-satunya kota yang ditunjuk sebagai Tokubetu Si.  Provincie dari zaman Hindia Belanda tidak dilanjutkan.
            Osamuseirei No.3 yang dikeluarkan oleh Saikosikikan mengatur pemberian wewenang kepada Walikota yang semula hanya berhak untuk mengatur urusan rumah tangga daerahnya saja, sekarang diwajibkan juga untuk menjalankan urusan Pemerintahan Umum. Selanjutnya, kedudukan Stadsgemeente dan Regentschap dengan Osamuseirei No.12 dan No. 13 diubah menjadi Si dan Ken yang otonom, tetapi sifat demokratisnya ditiadakan, karena hak-hak Raad dan College dialihkan kepada Kepala Daerah. Dengan Osamuseirei No.21 dan No. 26 ditetapkan pula bahwa Provinsi dihapuskan. Demikian juga dengan Dewan Kabupaten dan Dewan Gemeente.
Tinjauan. Dengan penghapusan dewan-dewan daerah, terbentuklah sistem pemerintahan tunggal di daerah-daerah otonom. Kepala-kepala daerah -- Syuutyookan -- mempunyai kekuasaan yang sangat besar untuk melaksanakan tugas-tugas militer sehari-hari di bawah komando Gunseikan. Mereka mengatur segala urusan daerah meliputi pemerintahan, kemiliteran, kepolisian, dan sebagainya (Harsono, 1992 : 70).  Dibentuknya dewan dewan daerah pada September 1943 tidak mengurangi Kekuasaan pada Kepala Daerah. Karena pada dasarnya dewan ini hanya melaksanakan perintah-perintah  Bala Tentara Jepang. Sehingga politik di tingkat lokal bisa dikatakan mati. Pada masa ini pemerintah Jepang sedang terlibat Perang Dunia II, sehingga tidak dapat memikirkan penyelenggaraan pemerintahan lokal di Indonesia dengan baik. Segala sesuatu mengenai pemerintahan -- termasuk pemerintahan daerah -- selalu diarahkan untuk kepentingan mencapai kemenangan perang mereka. Dengan demikian kebijakan pemerintahan daerah sangat bernuansa militeristik. Konsekuensinya dalam kebijakan pemerintahan daerah tidak mengenal prinsip desentraliasi, apalagi devolusi. Melainkan hanya mengenal prinsip dekonsentrasi yang sentralistik. Singkatnya fungsi pemerintahan hanya sebatas regulasi, dan berbagai kebijakan, kelembagaan dan kepemimpinan pemerintahan bersifat militeristik dan otoriter yang jauh dari nilai-nilai demokratis.

Tinjauan Umum
Kebijakan pemerintah Hindia Belanda tentang pemrintah lokal tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang dibuat tidak lebih hanya sekedar instrumen kekuasaan pemerintahan penjajah Belanda. Demikian pun politik desentralisasi yang dilanbsir tahun 1903, ketika Pemerintah Belanda mengumumkan undang-undang Desentralisasi (Desentralisatie Wet). Tujuan di tetapkannya Undang-Undang Desentralisatie Wet tersebut tidak lepas dari tujuan utama penjajahan itu sendiri, yakni menguasai wilayah jajahan dengan maksud menguras segala sumber daya yang ada. Oleh sebab itu politik desentralisasi tidak lebih hanya sekedar instrumen untuk menciptakan efisiensi administrasi pemerintahan penjajah Belanda. Upaya mengembangkan otonomi daerah, dibarengi dengan berbagai kebijakan yang bertujuan memanipulasi perilaku kepeminpinan lokal sehingga menjadi instrumen kekuasaan yang sangat efektif dalam poemerintahan yang eksploitatif. Hal itu nampak pada kebijakan trerhadap para bupati. Dengan demikian pemerintah Hindia Belanda telah menempatkan para pemimpin lokal sebagai pemeras bagi rakyatnya. Dan ini merupakan warisan yang sangat merugikan bagi pemerintahan daerah di Indonesia. Ringkasnya dapat dikatakan bahwa politik desentralisasi yang dijalankan  di  Hindia Belanda lebnih bersifat dekonsentrasi. Hal itu disesuaikan dengan maksud untuk mempertahankan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Sedangkan pada masa penjajahan Inggris melalui Raffles, walaupun secara umum  tujuannya tidan jauh berbeda dengan tujuan pemerintahan  Hindia Belanda, namun ada sedikit nuansa keberpihakan kepada rakyat. Hal itu terlihat ketika Raffles berusaha memutuskan hubungan langsung rakyat dengan para Bupati yang feodal dan ekploitatif, dan menggantinya dengan hubungan langsung kepada Residen yang autokratis ceptaan Raffles. Demikian juga pada masa pemerintahan bala tentara Jepang usaha Syuutyookan untuk menggalang keemampuan dan memperkuat perekonomian daerahnya tidak terlepas dari kepentingan Jepang dalam usaha memenangkan perang.
Pada masa penjajahan ini secara umum pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan sangat menafikan fungsi-fungsi pelayanan dan pemberdayaan, tetapi yang menjadi prioritas utama adalah pelaksanaan fungsi regulasi. Prinsip-prinsip desentralisasi dilaksanakan dalam pengertian dekonsentrasi, yakni desentralisasi administratif, bukan dalam arti devolusi yang mengandung makna desentralisasi politik.

B. MASA AWAL KEMERDEKAAN (DEMOKRASI LIBERAL)
Kebijakan Pemerintahan Lokal. Landasan kebijakan pemerinthan daerah di Indonesia adalah pasal 18 UUD 1945. Menurut UUD 1945 Negara Indonesia merupakan “eenheidsstaat” (negara kesatuan), sehingga tidak akan mempunyai daerah  yang bersifat “staat” juga. Menurut pasal 18 UUD 1945 wilayah Indonesia dibagi dalam daerah propinsi, dan daerah propinsi akan dibagi pula dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat “autonoom” (streek dan locale rechtsgemeenschappen) atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan dengan Undang-Undang. Di daerah-daerah otonom akan dibentuk badan perwakilan daerah. Daerah-daerah yang mempunyai susunan asli dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut -- seperti Desa di Jawa dan Bali  -- dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan memperhatikan hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Sesuai dengan amanat konstiusi tersebut ada dua jenis daerah, masing-masing daerah otonom dan daerah administrasi. Hal itu berarti Indonesia menganut prinsip desentralisasi, baik dalam arti desentraliasi politik (devolusi dan daerah otonom) maupun dalam arti desentralisasi administrasi (dekonsentrasi dan daerah adminidtrasi). Dalam tataran operasional kebijakan pemerintahan daerah itu mengalami berbagai perubahan sesuai tantangan zamannya. Hal itu tercermin dalam berbagai undang-undang undang-undang yang diberlakukan. Undang-undang No. 1 tahun 1945 dianggap sebagai peraturan  desentralisasi yang pertama di Indonesia.
UU No. 1 tahun 1945. UU ini mengatur pembentukan Komite Nasional Daerah (KND) sebagai badan legislatif daerah yang mewadahi segenap wakil rakyat sehingga dapat daiwujudkan pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang demokratis. Kebijakan ini secara politis untuk menghadapi propaganda Pemerintah Belanda.  Ketentuan-ketentuan yang penting adalah mengenai Komite Nasional Daerah (KND) yang semula dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonsia uantuk membatu Gubernur dan Residen.
1. KND diadakan -- kecuali di Surakarta, Yogyakarta -- di daerah-daerah karesidenan, kota otonom, kabupaten dan daerah lain yang dianggap perlu oleh Mendagri;
2. KND diubah menjadi badan legislatif daerah dengan sebutan Badan Perwakilan Daerah (BPRD) yang bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah mengatur rumah tangga daerahnya;
3. KND memilih beberapa orang, maksimal 5 sebagai badan eksekutif,  bersama-sama dengan dan dipimpin oleh Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari;
4. Biaya   keperluan KND disediakan oleh pemerintah daerah. (dalam The Liang Gie, 1993 : 47-48).
Tinjauan. Berdasar undang-undang ini pembentukan daerah disusun secara hierarkhis, dari atas masing-masing provinsi, karesidenan dan kabupaten/kota (Harsono, 1992 : 85). UU ini tidak mengatur karesidenan dan daerah istimewa. Pemerintah Karesidenan baru diatur dua tahun kemudian  dengan PP No. 8 Tahun 1947. Pemerintah daerah terdiri atas BPRD dan Badan Eksekutif, keduanya dipimpin oleh Kepala Daerah. Wewenang BPRD meliputi mengatur kepentingan daerah (otonomi), melaksanakan peraturan perintah atasan (medebewind) dan mengatur suatu hal -- dengan pengesahan pemerintah atasan -- sesuai ketentuan perundangan umum. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat.
UU Nomor 22 Tahun 1948. Secara substansial kebijakan pemerintahan daerah yag tercermin dari UU ini bisa dikatakan cukup memadai. Berbagai keragaman lokal mendapat apresiasi, yang tercermin dalam pengakuan terhadap daerah-daerah yang mempunyai hak asal-usul. Hal itu memang sangat jumbuh dengan maksud dan tujuan UU No. 22 Tahun 1948 ini. Berdasar hasil penelitian R. Joeniarto, bahwa sesuai konsideran UU ini hanya mengatur pemerintah lokal yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri saja. Tentang pemerintah lokal administratif sebagaimana dimungkinkan keberadaanya oleh UUD 1945, tidak disinggung sama sekali. Dan, sebenarnya ada maksud untuk menghapuskan keberadaan pemerintah lokal administratif (R. Joeniarto, 1992 : 38).
Beberapa maksud yang esensial dari  UU Nomor 22 Tahun 1948 dapat dikemukakan sebagai berikut. 1) Menciptakan ketunggalan  perundang-undangan  pemerintahan daerah untuk semua jenis dan tingkat daerah  guna memupuk rasa persatuan antara daerah-daerah otonom. 2) Menciptakan persamaan cara pemerintahan di Jawa/Madura dengan diluar pulau tersebut. 3) Menghilangkan pemerintahan didaerah yang dualistis. 4) Fungsi mendekatkan rakyat dan daerah tingkat terbawah dengan pemerintah pusat. 5) Penerapan desentralisasi yang merata di seluruh wilayah negara RI. 6) Pemberian otonomi dan medebeeind yang luas. 7) Pendemokrasian pemerintahan daerah. 8) Mendekatkan rakyat dan daerah terbawah dengan pemeintah pusat. 9) Pendinamisan kehidupan desa dan wilayah-wilayah lainnya yang sejenis dengan ini. 10) Menciptakan pendemokrasian pemerintah “Zelf Bestuurrende Landschappen”. Kerajaan-kerajaan warisan masa lampau dengan sifatnya yang otokratis dan feodal dijadikan bagian dari wilayah RI yang berhak mengatur rumah tangga daerahnya sesuai dengan azas-azas yang dianut oleh negara. (The Liang Gie, 1993 : 104-105).
Daerah-daerah yang dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu daerah otonom (biasa) dan daerah Istimewa. Daerah dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu Propinsi, Kabupaten/Kota Besar dan Desa/Kota Kecil. Masing-masing daerah diberi kekuasaan mengelola sumber-sumber keuangannya sendiri.
Pemerintah daerah terdiri atas DPRD dan DPD, yang masing-masing mempunyai ketua. Ketua DPRD dipilih oleh dan dari para anggota DPRD sedangkan ketua DPD adalah Kepala daerah. Jadi kini KDH tidak merangkap kedua jabatan itu seperti ditentukan dalam UU No. 1 /1945. Selain itu Kepala Daerah dan DPD, baik bersama-sama atau masing-masing  bertanggung jawab kepada DPRD, dan wajib memberi keterangan-keterangan yag diminta DPRD. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat, Kepala Daerah Provinsi oleh Presiden, Kepala Daerah Kabupaten/Kota oleh Menagri, Kepala Daerah Desa oleh Kepala Daerah Provinsi. Kepala Daerah sebagai wakil Pemerintah Pusat mempunyai fungsi mengawasi pekerjaan DPRD dan DPD dan sebagai Ketua dan anggota DPD yang merupakan organ Pemerintah Daerah.
Tinjauan. Kebijakan pemerintahan daerah melalui UU No. 22 Tahun 1948 bisa dikatakan sangat desentralistik dalam arti politis -- bukan sekedar dekonsentrasi -- berusaha menghapus daerah administratif sehingga semua daerah bersifat otonom. Dengan pola hubungan dalam susunan hierarkhis dibarengi pengawasan preventif dan represif akan menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan. Selain itu pola rekruitmen kepemimpinan daerah yang sentralistik yakni diangkat -- bukan sekedar ditetapkan -- oleh pemerintah pusat akan sulit menciptakan kepemimpinan pemerintahan daerah yang otonom. UU ini belum sempat dilaksanakan secara mapan, karena diusul terjadinya perang Agresi Belanda II yang mengakibatkan terbentuknya Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) setelah terjadi KMB. Selanjutnya UU No. 22 Tahun 1958 hanya berlaku di Nagara Bagian RI saja.
UU  NIT Nomor 44 Tahun 1950. Jiwa UU ini mendekati UU 22/1948, hanya disesuaikan dengan struktur negara bagian. Undang-undang  NIT 44/1950  menetapkan bahwa  NIT tersusun atas dua atau  tiga tingkatan daerah otonom yang bertingkat, dari tingkat yang tertinggi masing-masing adalah 1) Daerah, 2) Daerah Bagian, dan 3) Daerah Anak Bagian. “Daerah” berada dibawah pengawasan pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT). Sebaliknya “Daerah” sendiri mengawasi “Daerah Bagian” dan “Daerah Anak Bagian”. Pengawasan ini  baik bersifat preventif (hak mengesahkan) maupun represif (Hak menunda/membatalkan). Terhadap penolakan mengesahkan suatu keputusan oleh Daerah dapat diajukan keberatan oleh “Daerah Bagian” atau “Daerah Anak Bagian” kepada Pemerintah NIT, sedangkan penolakan pengesahan oleh Pemerintah NIT suatu Daerah  dapat banding kepada pemerintah RIS. Daerah mempunyai hak memungut pajak dan mengadakan pinjaman uang menurut peraturan-peraturan  yang telah ditetapkan., yaitu peraturan-peraturan warisan masa Hindia Belanda maupun yang dibuat oleh Negara Indonesia Timur .
Pemerintah Daerah terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pemerintah. DPR mempunyai Ketua dan Wakil Ketua yang dipilih oleh dan dari para anggotanya. Kepala Daerah menjabat Ketua merangkap anggota Dewan Pemerintah. Kepala Daerah menjalankan pemerintahan secara  kolegial bersama-sama dengan anggota Dewan Pemerintahan Daerah yang lainnya. Kepala daerah bagian / anak bagian diangkat oleh “Dewan Pemerintah  Daerah”. Kepala Daerah Swapraja diangkat oleh Presiden NIT dari keturunan keluarga swapraja. 
UU  Nomor 1 Tahun 1957. Undang-undang ini bermaksud mengatasi empat permasalahan utama  penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Pertama, isi otonomi, dengan memberikan otonomi yang riil yaitu otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah. Kedua,  jumlah ideal tingkatan daerah yang dapat dibentuk dengan sistem otonomi itu. Ketiga, kedudukan Kepala Daerah dalam rangka Otonomi itu. Keempat, pengawasan yang tidak boleh  atau tidak harus dilakukan penguasa pusat terhadap daerah-daerah otonom.
Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 fungsi Pemerintah Daerah adalah mengurus rumah tangganya sendiri berdasar pelaksanaan Otonomi Daerah seluas-luasnya sesuai pasal 131 UUDS 1950. Pelimpahan kekuasaan sebanyak-banyaknya dari pemerintah pusat kepada Pemerintah Daerah, pemberian bagian keuangan sebesar-besarnya dan bantuan tenaga pegawai secukupnya. Sedangkan  pemerintahan umum dilaksanakan oleh pamong praja. Wilayah RI dibagi dalam Daerah Swatantra yang membagi kedalam 3 tingkatan, masing-masing adalah 1) Daerah tingkat ke-I termasuk Kota Praja Jakarta Raya, 2) Daerah Tingkat ke-II termasuk Kota Praja, dan 3) Daerah Tingkat ke-III. 
Pemerintah daerah terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah daerah. Kepala daerah karena jabatannya adalah ketua serta anggota  Dewan Pemerintah Daerah. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dipilih oleh dan dari Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Tinjauan. Pada masa berlakunya UU ini  peran Pemerintahan Umum Pusat di Daerah yang dilaksanakan   Pamong Praja masih begitu kuat -- sehingga seolah-olah terdapat dualisme  pemerintahan daerah, dan ini akan di hilangkan dengan UU tersebut,  diperkuat dengan Kepmendagri No. Pen.10/2/18 tahun 1957, yang bermaksud : 1) merealisasikan pemerintahan daerah tunggal, dengan bentuk Dewan (DPRD dan DPD), 2) Meniadakan wakil pemerintah pusat -- yang mempunyai wewenang dalam pemerintahan umum seperti Pamong Praja -- di daerah. (Harsono, 1992 : 101)

Tinjauan Umum.
Dengan ketentuan adanya badan legislatif daerah itu, daerah otonom dapat mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti daerah tersebut mempunyai kekuasaan politik. Namun demikian dapat dikatakan desentralisasi yang dianut lebih bermakna dekonsentrasi dari pada devolusi. Terutama bila dilihat dari kedudukan kepala badan legislatif yag dirangkap oleh kepala daerah. Sementara kepala daerah mempunyai fungsi ganda, yakni sebagai perangkat daerah sekaligus perangkat pemerintah pusat. Dualisme fungsi kepala daerah berarti pula bobot pelaksanaan fungsi lebih kepada sebagai perangkat pemerintah pusat. Perwujudannya adalah pertanggung jawaban kepala lebih kepada pemerintah pusat dari pada kepada DPRD. Susunan daerah yang bersifat hierarkhis mempunyai implikasi terhadap pengawasan yang kuat terhadap berbagai tingkat daerah. Dengan demikian dalam berbagai kebijakan pemerintahan daerah nuansa sentraliasi masih sangat terasa.
Jika dilihat dari segi pelaksanaan fungsi pemerintahan daerah, sebenarnya belum ada batasan yang tegas antara pelaksanaan otonomi dengan medebewind, sehingga daerah mengatur urusan-urusan mengenai keamanan dan ketertiban. Disamping tugas mengatur (otonomi) daerah-daerah juga mengurus hal-hal yang  hubungan dengan perjuangan kemerdekaan beserta akibat-akibatnya, seperti mengadakan Fonds Kemerdekaan, menyelenggarakan pemindahan pengungsi dsb (The Liang Gie, 1993: 54-55). Keadaan demikian memang tidak terlepas dari suasana politik dalam negeri Indonesia masa itu, sehingga fungsi pemerintahan daerah dilaksanakan berkaitan dengan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan dalam rangka “nation building”. Ditambah dengan permasalahan yang kompleks yang menuntut pengaturan yang sangat banyak, tidak mungkin merombak secara total berbagai peraturan yang telah ada sebelumnya. Dengan pemahaman demikian kebijakan desentralisasi masih belum bergeser terlalu jauh dari pelaksanaan desentralisasi pemerintahan Hindia Belanda, yakni penekanan pada desentralisasi administrasi bukan desentralisasi politik. Sehingga pada masa demokrasi liberal ini, dalam pelaksanaan pemerintahan pemerinrahan realitas pengaturan formal itu sangat terasa lebih sentralistis daripada desentralistis.
Politik Lokal. `Pada masa ini dikenal dengan masa demokrasi parlementer. Model demokrasi yang diadopsi dari Negeri Belanda ini ternyata tidak dapat diterapkan di Indonesia. Demokrasi yang sangat liberalistik ini tidak mampu mewujudkan pemerintahan yang stabil. Para pemimpin nasional terbelenggu wacana politik yang berkembang sehingga mendominasi wacana ekonomi. Hal ini berpengaruh pula di tingkat daerah yang bernada tantangan terhadap pusat. Menurut  Audry R. Kahin dan George Mct Kahin, akibat pergeseran posisi dalam AD -- Turunnya Jenderal Nasution sebagai KSAD -- memicu ketidak puasan para perwira AD di daerah. Mereka menjadi alat dan tumpuan daerah-daerah atas ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat (1995 : 68). Dilaporkan oleh Herbert Feith (1963), bahwa tantangan itu terutama datang dari para pemimpin daerah-daerah eksportir di luar Jawa. Sebagai misal terjadinya semacam kup oleh para panglima militer daerah terhadap pemerintahan sipil daerah di Sumatera Tengah, Sumatera Utara dan Sumatra Selatan. Tindakan itu bersifat korektif, dan dilandasi tuduhan terhadap Jakarta melakukan sentralisasi  berlebihan, korupsi dan abai terhadap daerah-daerah di luar Jawa. Kecuali itu promosi para pemimpin daerah dibatasi dengan banyaknya penempatan pejabat daerah dari Jawa. Untuk mencukupi kebutuhan daerah para pemimpin daerah Sumatera Utara dan Sulawesi Utara bahkan telah mengatur penyelundupan besar-besaran pada pertengahan tahun 1956. Pemberontahan DI Jawa Barat, Permesta Sulawesi Selatan dan PRRI Smatera Barat tidak lepas dari keadaan itu   (Feith, 2001 : 18-22, Hakin,1995 : 67-82). Pada masa ini  dinamika politik lokal sangat intensif. Keadaan ini tidak lepas dari praktek pengaturan pemerintahan yang sangat sentralistik dibarengi dengan ketidak mampuan pemerintah pusat memenuhi kebutuhan anggaran pemerintah daerah dan terutama ketimpangan distribusi sumber daya ekonomi. Kecuali itu sistem demokrasi parlementer yang liberalisitik sangat kondusif bagi kebebasan aktivitas berbagai elemen politik yang ada.

C. MASA  DIKTATORIAL
PENPRES  Nomor 6 Tahun 1959. Setelah Dekrit  5 Juli 1959, untuk menyusun kembali pemerintahan daerah, dikeluarkan Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 (disempurnakan) dan Penetapan Presiden Nomor 5 tahun 1960 (disempurnakan),  masing-masing tentang pemerintahan daerah (Kepala Daerah) & Badan Pemerintah Harian (BPH) serta mengatur Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Gotong Royong (DPRD-GR) dan Sekretaris Daerah. Kebijaksanaan yang diambil adalah, pertama, tetap mempertahankan politik dekonsentrasi dan desentralisasai berdasar desentralisasi teritorial, dan kedua, dihapuskan dualisme kepimpinan di daerah
 Politik dekonsentrasi dibarengai dengan deconsentrasi dengan pelimpahan wewenang kepada daerah mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. Sesuai asas otonomi riil, pengalihan kewenangan tersebut disesuaikan dengan kemampuan dan kesanggupan tiap-tiap daerah. Pada periode masa itu kebijakan pemerintahan daerah yang dalam rangka demokrasi terpimpin. Pemerintahan daerah yang stabil dan efisien untuk membantu pemerintah pusat dalam  mencapai masyarakat  adil dan makmur. 
Penetapan ini tidak merobah struktur pembagian daerah, melainkan mengatur struktur pemerintah daerah.
1.  Pemerintahan Daerah terdiri dari Kepala daerah dan DPRD. Dalam menjalankan tugasnya Kepala Daerah dibantu oleh sebuah Badan Pemerintah Harian.
2.  KDH selaku pimpinan yang diberi kepercayaan dari presiden.
3. DPRD yang diketuai oleh KDH, bekerja menurut sistim demokrasi terpimpin atas  hikmat kebijaksanaan dan musyawarah mencapai kata sepakat.
4. Anggota-anggota dan wakil ketua DPRD diangkat oleh instansi atasan.
5. Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan karena itu tidak dapat dijatuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
6. Kepala Daerah bersama-sama dengan DPRD  bertugas dibidang Legislatif.
Tinjauan. Berdasar peraturan ini terdapat dualisme kedudukan Kepala Daerah, yakni sebagai alat pemerintah pusat sekaligus sebagai alat pemerintah daerah. Kecuali itu  Kepala Daerah mempuyai kedudukan sentral yang sangat kuat (dalam The Liang Gie, 1994 : 215). Karena ia sekaligus memimpin DPRD sehingga ia tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan kepada Presiden. Kepala daerah dan DPRD lebih berperan sebagai perangkat pemerintah pusat. Konsekuensinya adalah lembaga pemerintah dan kepemimpinan daerah berorientasi pada efektifitas pengaturan pusat. Dengan demikian UU ini tidak menganut prinsip pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan legislatif. Desentralisasi yang dilaksanakan lebih berbobot pada dekonsentrasi. Akibat selanjutnya adalah bahwa kemandirian daerah belum dapat terbina secara baik.
Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1959 ini desentralisasi politik dirasakan masih sangat riskan, karena di berbagai daerah di Indonesia berkembang kecenderungan pembangkangan terhadap pusat terutama akibat ketidak puasan atas distribusi sumber daya yang tidak seimbang. Kecenderungan itu mengambil momentum ketika diberlakukan demokrasi parlementer yang sangat liberalistik. Dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan upaya untuk menjawab keadaan tersebut.
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965. Dikeluarkannya Undang-Undang ini merupakan konsekuensi dari Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, yang mengarahkan   dibentuknya Undang-Undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah yang mencakup semua unsur-unsur yang progresif dari perundangan pemerintahan daerah sebelumnya. Yang ketiga, adalah alasan keinginan membentuk pemerintahan daerah tingkat III. UU ini sesuai kondisi obyektif saat itu, didesain untuk tujuan menjamin kelangsungan kesatuan negara serta pimpinan nasional melalui kepala daerah yang kuat sebagai mata rantai organisasi pemerintah pusat (dalam The Liang Gie, 1994 : 263).
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 ini, mencabut semua peraturan tentang pemerintahan daerah yang berlaku sebelumnya. Selain itu jiwa UU ini tiak jauh berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1948 yag cukup progersif. Kebijakan tentang pemerintahan daerah Indonesia UU No. 18 Tahun 1965 mempunyai karakteristik sebagai berikut. Pertama, pemusatan kepemimpinan daerah pada Kepala Daerah yang kuat, cakap dan berwibawa sehingga dapat menjadi sesepuh Daerah. Kepala Daerah diharapkan dapat memajukan kesejahteraan rakyat.  Kedua, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mencerminkan Gotong Royong Nasional yang dipimpin ketua dan wakil yang berporoskan Nasakom, yang menjalankan tugas dan kewajiban menurut Demokrasi Terpimpin. Ketiga, membentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat berdasar prinsip kemandirian politik, ekonomi dan kebudayaan. Juga untuk maksud pengawasan yang efektif dan efisien.
Fungsi pemerintahan daerah adalah untuk turut menciptakan pemerintahan yang stabil; pengawasan jalannya pemerintahan di daerah secara efektif dan efisien;  memelihara kepentingan, keamanan dan ketertiban umum serta memajukan  kesejahteraan rakyat. Selain itu untuk membentuk pemerintahan yang mencerminkan kehendak rakyat berdasar prinsip kemandirian politik, ekonomi dan kebudayaan.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, susunan Daerah terdiri atas Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Daerah Tingkat III. Selain melaksanakan urusan rumah tangga (otonomi), Pemerintah Daerah  juga mengatur penyerahan urusan kepada Daerah. Juga diberi tugas kewajiban melaksanakan peraturan perundangan dari pusat dan daerah atasan. Pengawasan pemerintahan daerah bersifat umum, preventif dan represif; dilkakukan bertingkat mulai dari Mendagri (tertinggi) sampai kepada daerah tingkat II. Sedangkan  bentuk dan susunan pemerintahan daerah diatur sebagai berikut.
1.  Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.
2.  Kepala Daerah menjalankan pemerintahan sehari-hari dibantu oleh Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemerintah Harian. Ia sebagai alat pemerintah pusat dan sebagai alat pemerintah daerah, bertanggung jawab kepada, diangkat dan diberhentikan oleh  Presiden (bagi Kepala Daerah Tingkat I); kepada, diangkat dan diberhentikan oleh Mendagri (bagi Kepala Daerah Tingkat II );  kepada, diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Daerah Tingkat I (bagi Kepala Daerah Tingkat III ). Ia juga bertanggung jawab kepada DPRD (dalam The Liang Gie, 1994 : 261)
3.  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah mempunyai pimpinan yang terdiri dari seorang ketua dan beberapa wakil ketua yang jumlahnya menjamin poros Nasakom.
4.  Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas pemerintahan daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.
Tinjauan. UU No. 18 Tahun 1965 disusun berdasar latar belakang demokrasi parlemenmter yang sangat liberal dan keadaan obyektif merebaknya gerakan-gerakan separatis di berbagai daerah. Oleh karena itu  sesuai jiwa UU No. 18 Tahun 1965 jelas bahwa kebijakan pemerintahan daerah ini merupakan upaya pencapaian tujuan menjaga keutuhan negara. Instrumen kekuasaan negara dipergunakan  sebesar mungkin dengan perwujudan lembaga kepala daerah yang kuat sebagai ujung tombak pemerintah pusat. Oleh karena itu pertanggung-jawaban politik pemerintahan kepala daerah ditujukan kepada pemerintah atasan, bukan kepada rakyat daerah melalui lembaga perwakilannya. Walaupun dapat meminta Kepala daerah tidak dapat dijatuhkan oleh DPRD sehingga kepala daerah mempunyai posisi sentral dalam konstelasi politik lokal. Dalam keadaan demikian sangat baik bagi keserasian hubungan puat-daerah. Namun demikian, tentunya sangat menyulitkan bagi rakyat untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah daerah. Dengan kata lain posisi kuat kepala daerah menutup kesempatan partisipasi rakyat. Nuansa demokrasi bukan dalam aroma liberal melainkan demokrasi terpimpin yang sentralistik.
Adanya sistem pengawasan dan pengendalian ketat, yang ditandai dengan susunan daerah yang bertingkat dan fungsi kepada daerah sebagai alat pemerintah pusat mengambarkan tidak adanya pembagian kekuasaan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa politik desentalisasi masih sangat bersifat dekonsentratif.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Latar belakang pemberlakuan undang-undang ini terkait dengan kekacauan politik dan kebangkrutan ekonomi pada era sebelumnya. Dibarengi dengan keinginan kuat Orde Baru untuk mengatasi masalah tersebut dengan melancarkan pembangunan secara menyeluruh. Untuk mencapai keinginan itu diperlukan jaminan kestabilan politik yang mantap dengan pengendalian yang efektif terhadap daerah-daerah. Untuk menunjang tujuan itulah  UU Nomor 5 Tahun 1974 ini diberlakukan.
Kebijakan desentralisasi untuk menyelenggarakan otonomi daerah tetap dilaksanakan. 1) Otonomi  nyata dan bertanggung jawab. 2) Titik berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II. 3) Pemberian otonomi mengutamakan aspek keserasian disamping pendemokrasian. 4) Pemberian otonomi untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintah di daerah, terutama dalam pelaksanaan pembangunan dan pelayanan terhadap masyarakat serta meningkatkan pembinaan dan dimungkinkan pula bagi pelaksanaan asas tugas pembantuan. Tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah : 1)  agar daerah dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri. 2) Meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan. 3) Meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan pelaksanaan pembangunan daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II dilakukan dengan pertimbangan sebagai berikut :  1) Daerah Tingkat II lebih dekat dengan masyarakat. 2) Dari segi manajemen, penanganan pemerintahan di Daerah Tingkat II secara holistik lebih efisien dan efektif. 3) Konstelasi eksekutif dan badan perwakilan lebih efektif dan berakar pada masyarakat setempat, sehingga terciptanya arus demokrasi. 4) Lebih mudah mengenal kebutuhan daerah dan mengembangkan potensi daerah. 5) Lebih mudah mengadakan evaluasi terhadap keberhasilan atau kelemahan. 6) Jalannya proses manajemen pemerintahan dan pembangunan relatif lebih cepat dan pengambilan keputusan akan lebih cepat.
Namun demikian pelaksanaannya baru dilakukan 18 tahun kemudian yaitu dengan   Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1992 tentang penyelenggaraan Otonomi Daerah dengan titik berat pada Daerah Tingkat II. Baru tahun 1995 dilakukan program percontohan pelaksanaan titik berat otonomi pada 26 Daerah Tingkat II untuk masing-masing propinsi diwakili satu Kabupaten kecuali DKI Jakarta.
Berdasar syarat pembentukan daerah, fungsi pemerintah Daerah versi UU ini adalah pengembangan perekonomian daerah, melaksanakan pembangunan, pembinaan kestabilan politik dan kesatuan bangsa. Dari sisi pelaksanaan otonomi daerah, fungsi pemerintah daerah adalah mengurus rumah tangga sendiri untuk meningkatkan dayaguna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan masyarakat dan pembangunan.
Dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dibentuk susunan daerah yang bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat II, dan Desa. Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II di samping sebagai daerah otonom juga merupakan Wilayah Administratif dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi. Wilayah administratif itu masing-masing adalah  Propinsi (Daerah Tingkat I), Kabupaten (Daerah Tingkat II)  dan Kecamatan.
Bentuk dan susunan pemerintahan daerah hampir sama dengan UU No.  18 Tahun 1965. Perbedaannya pada Wakil Kepala Daerah dan Badan Pemrintah Harian. Adapun susunan pemerintah daerah menurut UU No. 7 Tahun 1974 adalah sebagai berikut :
1.  Pemerintah Daerah terdiri dari Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah.
2.  Kepala Daerah menjalankan tugas-tugas eksekutif;
3.  Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bertugas di bidang legislatif;
4.  Penyelenggaraan administrasi yang berhubungan dengan seluruh tugas pemerintahan daerah dilakukan oleh Sekretaris Daerah.

Tinjauan Umum
Tiga Undang-Undang yang berlaku selama periode ini masih ditandai besarnya kekuasaan pemerintah pusat  dengan dikendalikannya penetapan Kepala Daerah sebagai alat pusat untuk mengawasi pemerintahan di daerah. Pada masa awal kemerdekaan hingga tahun 1959 di berbagai daerah di Indonesia berkembang kecenderungan pembangkangan terhadap pusat terutama akibat ketidak puasan atas distribusi sumber daya yang tidak seimbang.   Dekrit presiden 5 Juli 1959 merupakan upaya untuk menjawab keadaan tersebut. Dalam kebijakan pemerintahan daerah, dekrit tersebut dilaksanakan dengan PENPRES Nomor 6 Tahun 1959 (disempurnakan) dan Nomor 5 tahun 1960 (disempurnakan) dalam suasana demokrasi terpimpin yang dicetuskan Presiden Soekrno tahun 1958. Kecuali itu keadan peraturan ini berlaku bersamaan dengan Undang-undang Keadaan Bahaya (SOB) yang mulai berlaku sejak awal tahun 1957. Berlakunya  UU yang terakhir disebut merupakan momentum bercokolnya kekuatan militer dalam pemerinthan daerah. hingga akhir tahun 1990-an. Dalam masa ini militer mendominasi politik lokal di Indonesia.
Dalam kedua Undang-Undang (No. 18/1965 dan No. 5/1974), ada keganjilan bahwa suatu daerah dapat menyerahkan urusan rumah tangganya untuk dijadikan urusan rumah tangga daerah tingkat bawahan, seolah-olah daerah otonom juga mengadakan desentralisasi. Dalam rangka itu digunakan prinsip otonomi  riil  (UU No. 18/1965) dan otonomi nyata dan bertanggung jawab  (UU No. 5/1974).  Sebagaimana UU tentang pemerintahan sebelumnya, kedua UU tersebut adalah menjadikan daerah otonom sekaligus daerah administrasi (fused model) yang seharusnya terpisah (split model) hal itu dianggap kekeliruan  yang mendasar. Konsekuensi nya adalah bahwa pimpinan pemerintahan daerah dijabat oleh seorang Kepala Daerah sekaligus menjadi Kepala Wilayah. Kedudukan Kepala Wilayah merupakan alat . pemerintah pusat  dan peran ini lebih dominan daripada perannya sebagai Kepala Daerah. Hal ini mengarah pada sistem pemerintahan yang sentralistik. DPRD kurang berfungsi, baik sebagai badan legislasi, pengawas terhadap eksekutif daerah, maupun penyalur aspirasi rakyat. Alasannya, Kepala Daerah tidak di bawah dan tidak bertanggung jawab kepada DPRD, melainkan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Dengan demikian, tidak ada akuntabilitas Kepala Daerah terhadap rakyat. Lebih jauh, demokratisasi pemerintahan daerah tidak berkembang.
Di sisi lain, pola pemberian otonomi bersifat proporsional bertingkat. Artinya, semua tingkat pemerintahan yang berbeda, mulai dari pusat, Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II   mempunyai kewenangan melakukan tugas, fungsi dan urusan yang sama   hanya beda proporsinya. Sehingga  pembagian kewenangan cenderung membesar ke atas, artinya Daerah Tingkat II hanya memperoleh sisa kewenangan  yang paling kecil. Hal itu menyebabkan posisi Daerah Tingkat II sebagai daerah otonom   menjadi tidak berdaya.
Politik lokal.  Pada masa masa akhir 1950-an hingga akhir 1990-an ini diwarnai dengan kekuasaan otoriter yang diktatorial. Kekuasaan militer mewarnai semua bidang dan jenjang pemerintahan pemerintahan, dari tingkat pusat sampai tingkat terbawah. Hal ini telah dimulai sejak sejak diberlakukannya UU Keadaan Bahaya Tahun 1957. UU tersebut merupakan alasan formal keterlibatan militer -- terurtama AD -- dalam pemerintahan daerah melalui para panglimanya di daerah. Pada masa awal tahun 1950-an  politik lokal diwarnai kiprah elit militer daerah yang bersinergi dengan elit ekonomi dan elit politik daerah (Cornelis Lay, 1997 : 21), sehingga merupakan kekuatan yang akhirnya mampu menantang kekuasaan pusat di Jakarta. Tetapi sejak kemenangan militer -- khususnya AD -- sejak 11 Maret 1966 militer berkibar menghiasi politik Indonesia. Dominasi militer di daerah terus menguat dengan menduduki posisi-posisi stratategis -- terutama Kepala Daerah -- dalam pemerintahan daerah. Hal bersamaan dengan menurunnya peran elit ekonomi daerah dan tokoh-tokoh politik lokal yag sebagian besar terserap ke Jakarta akibat politik sentralisasi yag dijalankan rezim baru, yakni Orde Baru. Sejak berlakunya UU Nomer 5 Tahun 1974 dinamika politik lokal didominasi militer. Mereka dengan posisi strategis dalam pemerintahan daerah -- sebagai Kepala Daerah, Ketua DPRD dan jabatan lain dalam birokrasi -- mengendalikan berbagai kelompok masyarakat yang mempunyai potensi politik untuk mengkritik pemerintahan daerah. Dengan demikian realitas politik lokal dalam perspektif demokrasi tidak ada, kecuali dalam kelembagaan yang reprentasinya berupa DPRD. Institusi-instiusi yang berpotensi mendorong dinamika politik lokal ditindas dengan pola korporatisme negara. Kebenaran politik didefinisikan penguasa pusat.  Akhirnya di lingkungan daerah sekalipun, suara pemerintah pusat lebih nyaring dan suara daerah tidak tersengar karena sama sekali.

D. MASA TRANSISI   (TAHUN 1999 - ?)
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Paradigma pelaksanaan otonomi daerah menurut UU ini berbeda dengan sebelumnya. Pertama, demokratisasi. Pemerintahan harus transparan, terbuka, dan pemberdayaan masyarakat. Kepala Daerah otonom lebih bertanggung jawab kepada DPRD dari pada kepada pemerintah pusat. Kondisi ini memungkinkan peningkatan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat sehingga    mencerminkan  paham kerakyatan dan  kebebasan.
Kedua, otonomi luas pada pemerintah Kabupaten/Kota. Pemberian otonomi kepada daerah Kabupaten/Kota didasarkan pada azas desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan yang mencakup semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan bidang politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan lainnya. Disamping itu keleluasan otonomi mencakup pula kewenangan utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi.
Daerah, mengandung arti pemerintahan secara utuh atau otonomi luas. Pelaksanaan Otonomi Daerah yang luas dan utuh ini, diletakkan pada Daerah Kabupaten/Kota, sedangkan daerah propinsi merupakan daerah otonom yang terbatas. Menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian Daerah Otonom, oleh karenanya dalam Daerah Kabupaten dan Kota tidak ada lagi wilayah administratif.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. Dari ketentuan ini, maka dalam pelaksanaan otonomi luas, urusan yang dahulu ditangani kantor departemen tertentu pada masa sekarang diserahkan kepada Dinas Daerah.
Hubungan Kekuasaan Antar Pemerintah Daerah. Propinsi  sebagai Daerah Otonom sekaligus daerah administratif. Konsekuensinya Propinsi melaksanakan kewenangan pemerintah yang didelegasikan pada Gubernur dan propinsi bukan merupakan pemerintah atasan Daerah Kabupaten dan Kota, artinya tidak ada hubungan hirarki.  Dalam praktek  terdapat hubungan koordinasi, kerjasama dan/atau kemitraan dengan Daerah Kabupaten/Kota masing-masing sebagai daerah otonom. Sebagai wilayah administratif, Gubernur selaku wakil pemerintah melakukan hubungan pembinaan dan pengawasan terhadap Daerah Kabupaten/Kota. Dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, pengawasan represif dan preventif serta tugas-tugas pembinaan kepada pemerintah Propinsi perlu dilimpahkan wewenang tertentu, diantaranya wewenang pengambilan keputusan. Sehingga masalah-masalah dapat diselesaikan dengan cepat oleh Gubernur.
 Penyerahan urusan menggunakan sistem residu, dengan asumsi sebanyak mungkin urusan diserahkan pada daerah Kabupaten/Kota. Kewenangan yang tidak dapat dilaksanakan Kabupaten/Kota ditangani pemerintah Propinsi. Bila propinsi juga tidak mampu urusan itu ditangani pemerintah Pusat.
Menurut Undang-Undang ini Pemerintah Daerah berfungsi mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut parakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Pemisahan DPRD dengan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk memberdayakan DPRD dan meningkatkan pertanggung-jawaban Pemerintah Daerah pada rakyat.
Struktur Pemerintah Lokal  menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tingkatan daerah otonom dihilangkan, semua daerah sederajat. Daerah otonom terdiri dari daerah Propinsi yang dibentuk berdasar azas desentraliasi dan dekonsentrasi, Daerah Kabupaten, Daerah Kota dan Desa, ketiganya dibentuk berdasar berdasar azas desentraliasi. Struktur pemerintahan daerah, meliputi DPRD sebagai badan legislatif dan Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutf. Pemerintah Daerah  terdiri atas Kepala Daerah dan perangkat daerah lainnya.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala dilakukan bersamaan oleh DPRD. Gubernur bertanggung jawab kepada DPRD Propinsi, dan dalam kedudukannya sebagai wakil pemerintah Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden. Sedangkan Bupati/ Walikota bertanggung jawab kepada DPRD Kabupaten/Kota masing-masing, dalam rangka pembinaan dan pengawasan mereka memberikan laporan kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.
Tinjauan. Memang pada tahap awal pelaksanaan UU ini menimbulkan beberapa masalah. Antara lain sebagai berikut. 1) Kekuasaan yang besar pada lembaga DPRD mendorong perilaku semacam “mabuk kekuasaan” di kalangan para anggotanya. Ada kecenderungan dari lembaga tersebut untuk terlalu mencampuri urusan eksekutif.  Hal itu menciptakan potensi konflik antara kedua lembaga sehingga dapat mengganggu kelancaran pelaksanaan pemerintahan daerah.  2) Pola hubungan antara daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota yang non-hirarkhis menimbulkan ketidakserasian hubungan antara dua macam daerah itu. Menurut Andi A. Malarangeng -- dalam seminar di UGM tanggal 11 Agustus 2001 -- hal itu dapat diatasi dengan PP dekonsentrasi yang mengatur kewenangan Gubernur. Sayangnya hal ini tidak segera dilakukan.  3) Kewenangan yang besar pada Daerah Kabupaten/Kota mendorong daerah untuk mencari sumber-sumber pembiayaan, hal itu membuka peluang konflik antar daerah, terutama menyangkut dumber daya ekonomi. 4) Bila penegakan hukum tidak kuat, kekuasaan yang besar pada daerah membuka peluang merebaknya KKN di daerah. 5) Dalam bidang ekonomi, kekuasaan DPRD yang sangat besar bila tidak didukung kekuatan moral politik akan membuka berbagai implikasi, seperti monopoli sumber daya dan aset ekonomi daerah oleh pengusaha partisan, sehingga daerah-daerah akan diwarnai mafia-mafia lokal. Selain itu budaya politik uang -- yang identik dengan suap -- berkembang luas. Hal ini tercermin dari luasnya isu politik uang dalam setiap pemilihan Kepala Daerah di berbagai tempat.
Pelaksanaan UU ini juga masih mengalami berbagai kendala.  1) Rendahnya kinerja, etika dan moral parpol dan elitnya dalam berdemokrasi melalui lembaga DPRD. 2) Kurangnya budaya pelayanan publik di kalangan birokrat daerah. Hal ini ditandai perilaku para elit birokrat yang lebih berorientasi kepada sesama elit daripada kepada rakyat. Para elit birokrat lebih memposisikan diri sebagai penguasa. 3) Selain itu, politik lokal diwarnai berkembangnya semangat primordialisme di daerah akan mempersempit kesempatan dan dalam batas tertentu “mengancam” eksistensi kelompok minoritas. Hal itu mewujud dalam berkembangnya isu “putra daerah” dalam kaitan dengan berbagai jabatan --  baik swasta maupun pemerintahan --di daerah terutama jabatan kepala daerah (Mohammad Maiwan, 2000).  Hal ini nampak jelas dengan meledaknya konflik laten menjadi konflik terbuka yang sangat mengerikan yang melibatkan etnis dayak dan madura di Kalimantan. Dalam kadar yag lebih rendah ditunjukkan dengan pengusiran pendatang oleh etnis setempat di daerah-daerah tertentu. Akibatnya timbul kecemburuan daerah-daerah tersebut terhadap pusat di Jawa, sehingga terjadi berbagai pemberontakan di darah luar Jawa. 4) Kekurang-mampuan daerah mengidentifikasi berbagai urusan yang layak. Dalam arti sesuai dengan kapasitas daerah, terutama kapasitas keuangan. Hal ini berkaitan dengan pola subsidi  dalam format  DAU dan DAK yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 1999.  Masalahnya pola subsidi ini lebih mendasarkan pada resource based  bukan pada yang seharusnya tax based.  5) Kebijakan pemerintah mengintegrasikan pegawai pusat kepada daerah menimbulkan permasalahan administrasi kepegawaian, penurunan kapasitas keuangan daerah,  dan lebih jauh menyangkut persoalan efisiensi dan efektifitas organisai pemreintah daerah.
Penyerahan urusan yang luas menurut UU ini, ternyata tidak sejalan  dengan kebijakan instansi teknis di pusat. Ada gejala departemen teknis enggan menyerahkan urusannya kepada daerah. Sebagai contoh ditariknya kembali urusan pertanahan sehingga tetap menjadi urusan pusat.
Implikasi berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 cukup signifikan, terutama kekuasaan yang besar pada Daerah. Dalam mengantisipasi hal ini Pemerintah Daerah melakukan berbagai pengaturan terutama tentang kelembagaan, pelaksanaan administrasi publik dan pembinaan sumber-sumber keuangan daerah dan pengembangan budaya lokal. Berkaitan dengan pembinaan sumber keuangan daerah, daerah-daerah -- dengan kekuasaan yang besar dan kurangnya subsidi dari pusat -- dengan terdorong menggali berbagai sumber pendapatan. Upaya itu kadang terkesan kurang perhitungan, terutama efek bagi perekonomian daerah, yang pada tahap lanjut dapat menciptakan ekonomi biaya tinggi. Kadin, dalam pertengahan tahun 2001, berhasil mengidentifikasi seribu lebih Peraruran Daerah di seluruh negara yang sangat menghambat perekonomian.

                                                                
                                                                  
BAB  III 
 PENUTUP

1.      Kesimpulan
Kebijakan Pemerintahan Daerah. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, kebijakan pemerintahan daerah sejak zaman penjajahan hingga UU No. 5 Tahun 1974 lebih banyak diwarnai penerapan desentralisasi dalam arti teknis administratif yang berarti dekonsentrasi. Hal itu tidak lepas dari penilaian kondisi-kondisi obyektif  dengan tujuan dan kepentingan negara. Pada zaman penjajahan untuk kepentingan kolonialisme (zaman penjajahan Belanda & Inggris), kepentingan perang (zaman pendudukan Bala Tentara Jepang).
Pada masa “Orde Lama” kepentingan negara adalah nation building. Sedangkan pada masa Orde Baru untuk kepentingan persatuan & kesatuan nasional, pembangunan ekonomi & stabilitas nasional serta legitimasi kekuasaan (Colin MacAndrew dalam Tim Lapera, 2000 : 56). Atas dasar hal itu desain UU No. 5 Tahun 1974 yang sentralistik bisa dipahami.
Pada masa demokrasi liberal  di bawah  “Orde Lama” kebijakan pemerintahan daerah  yang sentralistik menimbulkan tantangan dari elit politik lokal di berbagai daerah. hal itu terutama dipicu oleh kegagalan pusat dalam melaksanakan desentralisasi politik dan desentraliasi fiskal terutama kepada daerah-daerah di luar Jawa. Politik sentralisasi  meruntuhkan  kepemimpinan lokal di luar Jawa. Akibatnya timbul kecemburuan daerah-daerah tersebut terhadap pusat di Jawa, sehingga terjadi berbagai pemberontakan di darah luar Jawa.
Beberapa akibat buruk   pelaksanaan otonomi  masa   rezim Orde Baru. 1) Otonomisasi yang semestinya  mengurangi kecenderungan sentralisasi kekuasaan,  justru memperkuat dominasi pusat terhadap daerah. Terjadi ketergantungan Daerah kepada pusat, baik dari segi dana maupun program pembangunan daerah, sehingga kreativitas daerah membeku. 2) Penyeragaman pola pemerintahan desa menghancurkan keragaman budaya lokal di berbagai daerah. 3) Lembaga demokrasi di daerah seperti DPRD tidak berfungsi. Tiadanya pemisahan kekuasaan yang jelas antara lembaga eksekutif dan legislatif tidak hanya mengaburkan fungsi dan peran kedua lembaga itu, juga menghancurkan sistem kontrol terhadap kinerja pemerintahan daerah. 4) Sentralisasi kekuasaan berakibat pada penyedotan berbagai sumber daya daerah ke pusat. 5) Lambatnya perkembangan daerah -- khususnya SDM -- terutama di luar Jawa, 6) sentralisasi memungkinkan digantikannya instrumen-instrumen asli daerah dengan instrumen baru dari pusat, 7) Ketidak-adilan ekonomi antara pusat dan daerah, Jawa dan Luar Jawa (Tim Lapera, 2000 : 70-71)
Dengan perubahan kebijakan pemerintah tentang pemerintah daerah, khusunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, terlah terjadi perubahan yang fundamental. Terutama dengan proses demokratisasi. Undang-undang tersebut mengatur pemerintahan daerah berdasar prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keragaman daerah. Dengan demikian memberi peluang yang sangat luas bagi daerah dan masyarakatnya untuk menata penyelenggaraan pemerintahan lokal secara mandiri sesuai kebutuhan setempat.
Kelembagaan Pemerinrah Daerah. Sebelum UU No. 22 Tahun 1999, susunan daerah terdiri atas daerah otonom dan wilayah administratif (kecuali UU No. 22 Tahun 1948) dan bersifat hierarkhis, dengan maksud pelaksanaan pengendalian atas daerah-daerah demi kepentingan nasional (baca : rezim). Pemerintah daerah tidak dibedakan secara tegas antara eksekurif dan legislatif, sehingga lembaga perwakilan rakyat menjadi inferior dan kurang berfungsi secara wajar. Sampai  dengan berlakunya UU No. 5 Tahun 1974 fungsi pemerintahan daerah lebih menekankan pada regulasi (pengaturan) dari pada pelayanan dan pemberdayaan. Hal-hal tersebut dirombak dengan berlakunya UU No. 22 Tahun 1999. UU yang terakhir ini tidak mengenal daerah administratif (kecuali pada daerah propinsi) sehingga tidak mengenal susunan hierarkhi daerah, membedakan secara tegas antara kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dalam hal kewenangan urusan UU ini menggunakan sistem residu dan prinsip “uang mengikuti urusan”, yang berbeda dengan sistem  yang dianut UU sebelumnya, yakni sistem riil dan prinsip “urusan mengikuti uang”. Fungsi pemerintahan daerah lebih seimbang antara regulasi (pengaturan) dari pada pelayanan dan pemberdayaan.
Kepemimpinan Daerah. Sebagaimana kelembagaan, sebelum UU No. 22 Tahun 1999, kepemimpinan daerah lebih mencerminkan perangkat pusat dari pada perangkat daerah. Kedudukan Kepala Daerah merangkap jabatan kepala wilayah administrasi (Gubernur, Bupati, Walikota). Peran kepala wilayah menjadi dominan.  Kepala daerah lebih ditentukan oleh dan bertanggung-jawab kepada pusat (dan pemerintahan atasan) dari pada kepada lembaga DPRD. Peran Kepala Daerah lebih dominan daripada lembaga DPRD. Dengan kondisi demikian pada masa ini DPRD terkooptasi kepala daerah lebih berorientasi kepada pusat, dan cenderung menafikan kepentingan rakyat daerah. Desain kepemimpinan daerah semacam ini kurang memperhatikan faktor ketanggapan terhadap aspirasi masyarakat lokal. Berbeda dengan UU No. 22 Tahun 1999, kepala daerah, selain gubernur, tidak merangkap sebagai kepala wilayah. Ia merupakan alat daerah, dipilih dan bertanggung jawab kepada lembaga DPRD. Dengan demikian diharapkan dapat terwujud kepemimpinan daerah yag mempumnyai basis legitimasi kerakyatan yang kuar.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa permasalahan politik lokal dan pemerintahan daerah. 1) Perbedaan persepsi antara pemerintah pusat dan daerah serta antara berbagai lembaga pemeritahan pusat tiak dapat dipertemukan secara tepat.  2) Kurangya konsistensi  dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah. Hal ini biasa terwujud dalam bentuk perebedaan kebijakan pokok dengan kebijakan pelaksanaan. 3) Desentralisasi politik (devolusi) tidak dibarengi  dengan desentralisasi fiskal. 4) Kebijakan pokok -- UU pemerintahan daerah -- tidak segera ditindak-lanjuti dengan aturan pelaksanaan yang komprehensif. 5) Dari berbagai kebijakan secara keseluruhan, kebijakan desentralisasi selalu dibarengi semacam ketidak-percayaan kepada daerrah, terutama potensi disintegrasi. Rupanya hal itu terkait dengan hal berikut. 6) Perkembangan politik lokal diwarnai kecenderungan menguatnya paham nasionalisme etnisitas. 7) Kebutuhan pemerintah pusat akan legitimasi, mendorong penguasaan atas sumber-sumber ekonomi untuk redistribusi pada daerah-daerah.
2.      Saran
               Diperlukan perhatian yang serius dari pemerintah pusat agar tidak terjadi tumpang tindih dalam pemerintahan. Semua pihak harus ikut serta dalam upaha peningkatan pembangunan demi tersiptanya kemakmuran rakyat.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono (1992). Hukum Tata Negara Pemerintah Lokal Dari Masa ke Masa (Yogyakarrta : Liberty)
Haryanto, dkk (1997). Fungsi-Fungsi Pemerintahan (Jakarta : Badan Pendidikan dan Pelatihan Departemen Dalam Negeri).
Josef Riwu Kaho  (2001). Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia (Jakarta : Raja Grafindo Persada)
Mohammad Maiwan (2000). Demokratisasi dalam Jurnal Otonomi, Vol. I No.3, Mei 2000.
R. Joeniarto (1992). Perkembangan Pemerintah Lokal (Jakarta : Bumi Akara).
S.H. Sarundajang (2001). Pemerintahan Daerah di Berbagai Negara (Jakarta : Sinar Harapan).