Rabu, 13 Juli 2011

NETRALITAS PNS DALAM PILKADA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.       Latar Belakang
Sebagaimana terlihat sepanjang sejarah, maka kedudukan dan peranan Pegawai Negeri adalah penting dan menentukan, karena Pegawai Negeri adalah unsur Aparatur Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan dalam rangka usaha mencapai tujuan Nasional.
Tujuan Nasional seperti termaksud di dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 ialah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh Tanah Tumpah Darah Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Tujuan Nasional tersebut hanya dapat dicapai melalui Pembangunan Nasional yang direncanakan dengan terarah dan realistis serta dilaksanakan secara bertahap, bersungguh-sungguh, berdaya guna, dan berhasil guna.
Tujuan Pembangunan Nasional adalah untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata dan berkeseimbangan antara materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bersatu, dalam suasana peri kehidupan Bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai. Kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan Pembangunan Nasional terutama tergantung dari kesempurnaan Aparatur Negara dan
kesempurnaan Aparatur Negara pada pokoknya tergantung dari kesempurnaan Pegawai Negeri.
Dalam rangka usaha mencapai tujuan Nasional sebagai tersebut di atas diperlukan adanya pegawai Negeri yang penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara, dan Pemerintah serta yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, kuat, berdaya guna, berhasil guna, bersih, berkwalitas tinggi, dan sadar akan tanggung-jawabnya sebagai unsur
Aparatur Negara, Abdi Negara, dan Abdi Masyarakat. Untuk mewujudkan Pegawai Negeri sebagai yang dimaksud di atas maka Pegawai Negeri perlu dibina dengan sebaik-baiknya atas dasar sistim karier dan sistim prestasi kerja. Nah, salah satu hal yang dituntut bagi pegawai negeri yaitu sikap netralitas dalam pemilu maupun pilkada. Berikut akan kita bahas lebih lanjut tentang netralitas PNS sebagai berikut.

1.2.       Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.     Untuk memenuhi tugas individu yang diberikan oleh dosen mata kuliah Etika Pemerintahan.
2.     Sebagai bahan pembelajaran dalam proses belajar-mengajar
3.     Sebagai salah satu referensi tentang Kepegawaian.

1.3.       Rumusan Masalah
            Permasalahan yang menjadi fokus dari makalah ini adalah :
·         Mengapa PNS Harus Netral ?
·         Netralitas PNS Anggota Korpri
·         Partisipasi Aktif PNS
·         Larangan Bagi PNS
·         Sanksi Bagi PNS Yang Tidak Netral
·         PNS Belum Sepenuhnya Netral

1.4.       Landasan Teori
·         UU 43 Th. 1999 Ps. 3 (1-3) antara lain : (1) PNS harus Profesional, (2) PNS harus Netral dan tidak diskriminatif, (3) PNS dilarang menjadi anggota atau pengurus Porpol;
·         UU 10 Th. 2008 Tentang Pemilu Anggota DPR,DPD, Pasal 84 (3,4 dan 5) yang berkaitan dengan PNS dan Kampanye serta Pasal 273 yang mengatur tentang sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 84.
·         UU 32 Th 2004 Tentang Pemda dalam Ps. 59 (5) huruf g antara lain menyatakan pasangan calon KEPDA & WAKEPDA yg berasal dari PNS harus mengundurkan diri dari jabatan negeri;
·         PP No. 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS.
·         Peraturan Presiden Nomor 37 Tahun 2004  tentang Larangan PNS Menjadi Anggota Partai Politik
·         Peraturan Presiden Nomor 42 Tahun 2004  tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS
·         Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS
·         Peraturan Kepala BKN No. 10 Tahun 2005 Tentang PNS yang menjadi Calon Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah
·         Surat Edaran MENPAN No. SE/08.A/M.PAN/5/2005 yang mengatur tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Kepala Daerah

1.5        Sistematika Penulisan
Sistematika makalah Administrasi Kependudukan ini terbagi dalam 3 bab , yaitu :
BAB I, PENDAHULUAN. Terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan, batasan masalah dan sistematika penulisan.
BAB II, ISI. Membahas mengenai Netralitas PNS, Larangan bagi PNS serta sanksi bagi PNS yang tidak netral.

BAB III, PENUTUP. Terdiri dari Kesimpulan dan Saran.































BAB II
NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) DALAM PEMILU

Pesta akbar demokrasi sudah di ambang pintu. Kini seluruh energi seolah tercurah pada persiapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Kekhawatiran akan kegagalan pemilu juga terjadi disebabkan banyaknya ketentuan peraturan pelaksanaan yang belum ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Diperlukan waktu lama untuk menyosialisasikan peraturan itu kepada pemilih.
Salah satu faktor kekuatan yang menjadi harapan bala bantuan pelaksanaan pemilu adalah pegawai negeri sipil (PNS) yang berjumlah 3,9 juta lebih. Tingkat pendidikan dan pengetahuan mereka memadai serta jaringan yang tersebar di seluruh pelosok desa, maka patut diperhitungkan untuk memanfaatkan sumber daya PNS dalam menyukseskan pemilu. Meski demikian, ada beberapa hal yang patut dicermati guna mengurangi ekses negatif keterlibatan PNS dalam pemilu.Sejarah birokrasi di Indonesia menunjukkan, PNS selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. Jumlahnya yang signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik.
Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat efektif. Bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan) secara diskriminatif, yang menguntungkan salah satu parpol. Selain itu, di pelosok pedesaan yang mayoritas penduduknya tidak terdidik, figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.
Pertukaran ekonomi politik antara partai/aktor politik (caleg) dan PNS dalam pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu kepada parpol/caleg dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan. Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik, netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas pegawai dalam pemerintahan. Pasal 3 UU No 43/1999 mengatur, (1) Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; (2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1), pegawai negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. (3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik. Ketentuan ini jelas melarang keberpihakan PNS dalam menjalankan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Dalam praktik, tercatat ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu.            Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara. Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan tidak adil/diskriminatif atas penggunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg.

2.1        Mengapa PNS harus netral ?
H. Ateng Kusnandar Adisaputra (Kepala Bidang Kesejahteraan Dan Disiplin, Badan Kepegawaian Daerah Provinsi Jawa Barat)

Pemerintah telah menetapkan 7 (tujuh) prioritas kebijakan manajemen kepegawaian secara nasional, yakni :
1.     Rekrutmen PNS;
2.     Netralitas PNS;
3.     Profesionalisme dalam pengembangan karier PNS;
4.     Disiplin PNS;
5.     Pengembangan Manajemen Informasi Sistem berbasis informasi teknologi;
6.     Peningkatan pelayanan PNS;
7.     Remunerasi dan kesejahteraan PNS

Dengan melihat 7 (tujuh) prioritas kebijakan manajemen kepegawaian tersebut, maka masalah netralitas PNS merupakan salah satu kebijakan yang perlu mendapat perhatian semua pihak, mulai Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta PNS itu sendiri.
Kasus ketidaknetralan PNS dalam pemilukada kenapa masih saja terjadi ? apakah karena PNS ini tidak mengetahui peraturan perundang-undangan bidang kepegawaian, khususnya yang berkaitan dengan masalah netralitas PNS, ataukah ada pemaksaan, intimidasi dari pihak lain ?
Sebenarnya masalah netralitas PNS ini tidak hanya dalam pelaksanaan pemilukada, akan tetapi juga dalam pemilihan umum calon anggota legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), anggota DPD, dan calon Presiden/Wakil Presiden.
Bahwa PNS harus netral dari pengaruh partai politik, sebenarnya dari aspek peraturan perundang-undangan sudah jelas di atur mulai dari Undang-Undang sampai dengan Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara. Sederetan peraturan perundang-undangan dimaksud adalah :
·         Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;
·         Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
·         Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD;
·         Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Calon Wakil Presiden;
·         Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan PNS menjadi Anggota Partai Politik;
·         Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
·         Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS;
·         Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005 tentang PNS yang menjadi calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah;
·         Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden.

Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian, Pegawai Negeri sebagai unsur aparatur Negara harus netral dari pengaruh semua golongan dan Partai Politik, tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat, dan dilarang menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik. Pegawai Negeri Sipil yang menjadi Anggota dan/atau Pengurus Partai Politik harus diberhentikan sebagai Pegawai Negeri.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, dan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, antara lain ditentukan bahwa Pegawai Negeri Sipil sebagai warga Negara dan anggota masyarakat diperbolehkan mengikuti kegiatan kampanye sebagai Peserta Kampanye.

2.2        Netralitas PNS Anggota Korpri                                      
Pada waktu pengukuhan Dewan Pengurus Korpri Provinsi Sumatera Barat pada 25 Maret 2011 oleh Ketua Umum Dewan Pengurus Korpri Nasional, Diah Anggraini, salah satu yang menjadi penekanan dari Ketua Umum adalah menyangkut netralitas PNS sebagai anggota Korpri. Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno juga mengulas hal ini dalam pidato sambutannya.
Netralitas PNS sebenarnya telah merupakan tekad dari Pemerintah semenjak dimulainya era reformasi dengan dikeluarkannya PP Nomor 5 Tahun 1999 yang disempurnakan dengan PP No  12 tahun 1999 yang antara lain memuat tentang larangan terhadap PNS  untuk menjadi pengurus dan anggota partai politik. Materi ini dimuat pula pada UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian seperti tertera pada pasal 3 ayat (3) yang berbunyi: “Untuk menjamin netralitas pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pegawai negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.”
Selanjutnya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2004  tentang larangan Pegawai Negeri Sipil menjadi anggota partai politik disebutkan pada pasal 2 ayat (1) yang bunyinya: “Pegawai Negeri Sipil dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik”, sedangkan pada ayat (2) berbunyi: “Pegawai Negeri Sipil yang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik diberhentikan sebagai Pegawai Negeri Sipil.”
Dalam pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah, Menteri PAN telah mengeluarkan Surat Edaran no.SE/08.A.M.PAN/5/2005, antara lain disebutkan PNS dilarang terlibat dalam kegiatan untuk mensukseskan salah seorang calon Kepala Daerah, seperti kampanye, menggunakan fasilitas jabatan untuk kepentingan salah seorang calon dan membuat keputusan yang menguntungkan salah seorang calon.
Dari apa yang dikemukkan di atas terlihat dengan jelas bahwa berbagai aturan telah menggariskan bahwa PNS “wajib” netral dari kegiatan politik praktis, baik dalam pemilihan calon calon legislatif, pemilihan Presiden maupun pemilihan Kepala Daerah. Namun dalam kenyataannya, masih banyak dari PNS yang dijadikan “Tim Sukses” sungguhpun dalam bentuk tersembunyi atau secara diam diam. Mereka mau melaksanakan pekerjaan itu ada yang betul betul merupakan kata hatinya, tapi yang paling banyak ialah karena berharap akan imbalan nantinya ataupun karena “keterpaksaan”dan “dipaksa”.
Netral dalam pengertian awam  “tidak punya warna” atau “putih bersih”, karenanya dia bisa berwarna kalau diwarnai, sebaliknya apabila tidak, maka dia akan tetap putih bersih dan mempunyai karakter sendiri yang tidak mengikuti pewarnaan dari yang lain. Artinya dalam keadaan netral ada kebebasan untuk mewarnai sendiri, memilih sendiri apa yang diinginkan, hanya diri sendiri yang tahu. Netral, bukan pula selalu sama dengan tidak melakukan pilihan yang sering disebut “golongan putih” atau “tidak mau tahu” ataupun “apatisme”. Justru itu, pengertian netral untuk PNS atau anggota Korpri adalah “tidak memihak pada salah satu kelompok dalam hal ini partai politik tertentu, orang perorangan yang akan menduduki jabatan politik, namun menggunakan hak memilih sesuai dengan hati nuraninya dalam pemilihan umum,  dan tidak diskriminatif di dalam memberikan pelayanan kepada masya­rakat”.
Dengan demikian netralitas PNS atau anggota Korpri dapat terwujud dalam 2 aktivitas yaitu pada aktivitas politik baik pada pemilihan umum legislatif, maupun pemilihan umum eksekutif seperti pemilihan presiden dan kepala daerah. Selanjutnya juga pada aktivitas pelayanan, yaitu memberikan pelayanan yang sama kepada setiap orang yang membutuhkan pelayanan, tanpa memandang tentang statusnya. Netral bukan menghilangkan “loyalitas”.
Seorang PNS dituntut untuk loyal, namun dalam pengertian ini loyalitas bukan ditujukan pada” kelompok tertentu” apalagi pada “orang tertentu”, tetapi loyalitas hanyalah kepada pemerintah (yang syah), bangsa dan negara yang berdasarkan kepada Pancasila dan UU D 1945.
Dalam perwujudannya PNS hanya dapat menjalankan pekerjaan kalau pekerjaan tersebut untuk kepentingan kelancaran pemerintahan sesuai dengan peraturan perun­dangan, juga kalau untuk kepentingan bangsa dan negara, bukanlah untuk kepentingan subjektif dari seseorang walaupun yang bersangkutan adalah pimpinan. Dalam hal ini, loyalitas tidaklah hanya diukur dari segi kepatuhan seseorang pada pribadi pimpinan, tetapi kepatuhannya menjalankan tugas-tugas pemerintahan yang dibebankan kepadanya, serta ketaatannya dalam menjalankan dan menegakkan peraturan perundangan.
Netralitas PNS sangat dibutuhkan bagi organisasi pemerintahan yang misi utamanya adalah mengatur, melayani dan memberdayakan masyarakat agar terwujud kesejahteraan masyarakat. Hal ini dapat dilihat sebagai berikut: Pertama dengan netralitas, PNS tidak lagi terganggu dengan pekerjaan pekerjaan yang diluar tugas dan tanggung jawabnya, sehingga lebih dfokus pada pekerjaannya. Kedua, PNS  merasa lebih aman bekerja, punya kepastian masa depan dimana tergantung kepada hasil kerja dan prestasi kerjanya, tidak ada lagi faktor-faktor subjektif yang tidak punya standar yang pasti. Ketiga, PNS akan berkompetisi secara sehat dalam menghasilkan prestasi, sehingga akan muncul inovasi baru dalam menyelesaikan suatu persoalan ataupun guna me­lancarkan penyelenggaraan pemerintahan. Keempat, pemberian pelayanan akan lebih baik, karena tidak ada lagi sikap sikap yang diskriminatif ataupun adanya intervensi tertentu dalam memberikan pelayanan.

2.3        Partisipasi aktif PNS   
Sebagai salah satu faktor kekuatan negara, peran dan fungsi PNS amat potensial dalam pemilu. Selain harus netral dari kepentingan parpol/caleg, partisipasi PNS dapat diwujudkan dalam beberapa hal.
Pertama, PNS harus aktif menjadi pemilih dan memberikan sosialisasi kepada keluarga serta lingkungannya tentang pemilu. Keaktifan PNS dibutuhkan untuk memberi keyakinan tentang arti pentingnya pemilu kepada masyarakat sehingga dapat mengurangi jumlah golput. Apalagi kedudukan PNS sebagai pamong praja akan menjadi panutan masyarakat sekitarnya.
Kedua, PNS harus menjadi juru kampanye pemerintah yang menyampaikan kepada masyarakat tentang kebijakan KPU dan aneka kebijakan negara dalam meningkatkan pengetahuan dan membangun partisipasi aktif masyarakat dalam pemilu.
Ketiga, partisipasi aktif PNS diwujudkan dengan tidak menjadi partisan parpol/caleg dalam penyelenggaraan pemilu dan penyelenggaraan pemerintahan serta bertindak profesional dalam menjalankan tugas.
Keempat, partisipasi aktif PNS juga diperlukan guna mendukung kesekretariatan KPU dan KPUD untuk melaksanakan berbagai tahapan pemilu legislatif dan pemilu presiden. Sebagai supporting staff KPU dan KPUD, profesionalisme PNS akan amat menentukan keberhasilan tiap tahapan, mulai dari sosialisasi, pendistribusian surat suara dan kotak suara, sampai penetapan pemenang. Demikian pula keterlibatan aktif PNS menjadi PPK, PPS, dan KPPS dimungkinkan dalam Pasal 41 UU No 10/2008, mengingat keterbatasan penduduk yang memiliki kualifikasi untuk dapat menjadi anggota panitia pemilu. Karena itu, netralitas dan profesionalisme PNS, terutama saat menjadi anggota panitia pemilu, akan amat menentukan keberhasilan pemilu.
Keberhasilan PNS dalam menyukseskan pemilu akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap netralitas PNS. Karena itu, pemilu adalah momentum bagi PNS untuk memperbaiki citra profesionalisme dan netralitas PNS serta mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Dalam jangka panjang, kepercayaan masyarakat akan meningkatkan pula terhadap pemerintah dan negara.

2.4        Larangan Bagi PNS
Selanjutnya pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, masalah netralitas Pegawai Negeri Sipil sudah di atur dalam Pasal 4 angka 12, 13, 14, dan 15, dimana setiap Pegawai Negeri Sipil dilarang :
12. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara:
a. ikut serta sebagai pelaksana kampanye;
b. menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS;
c. sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain; dan/atau
d. sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara;
13. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara:
a.  membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu  pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
b.  mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat;
14. memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan erundangundangan; dan
15. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara:
a. terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
b. menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
c. membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu
pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
d.  mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat. 

2.5        Sanksi Bagi PNS Yang Tidak Netral
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, telah mengatur dengan tegas dan jelas sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar netralitas, yakni penjatuhan hukuman disiplin sedang ( di atur pada Pasal 12, angka 6, 7, 8, dan 9), dan penjatuhan hukuman disiplin berat (di atur pada Pasal 13, angka 11, 12, dan 13).
Perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan melanggar netralitas dan dapat dijatuhi hukuman disiplin sedang, sebagaimana di atur dalam Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, adalah :
6. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara ikut serta sebagai pelaksana kampanye, menjadi peserta kampanye dengan menggunakan atribut partai atau atribut PNS, sebagai peserta kampanye dengan mengerahkan PNS lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf a, huruf b, dan huruf c;
7. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf b;
8.  memberikan dukungan kepada calon anggota Dewan Perwakilan Daerah atau calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara memberikan surat dukungan disertai foto kopi Kartu Tanda Penduduk atau Surat Keterangan Tanda Penduduk sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 14; dan
9. memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.
Selanjutnya perbuatan atau tindakan yang dapat dikategorikan melanggar netralitas dan dapat dijatuhi hukuman disiplin berat, sebagaimana di atur dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, adalah :
11. memberikan dukungan kepada calon Presiden/Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan cara sebagai peserta kampanye dengan menggunakan fasilitas negara, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 12 huruf d;
12. memberikan dukungan  kepada calon Presiden/Wakil Presiden dengan cara membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 13 huruf a; dan
13.  memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c.
Sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar netralitas ( Pasal 12, angka 6, 7, 8, dan 9) , yakni penjatuhan hukuman disiplin sedang, berupa :
1.     Penundaan kenaikan gaji berkala selama 1 (satu) tahun;
2.     Penundaan kenaikan pangkat selama 1(satu) tahun, dan;
3.     Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 1 (satu) tahun.
 Sedangkan sanksi hukuman disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil yang melanggar netralitas ( Pasal 13, angka 11, 12, dan 13), yakni penjatuhan hukuman disiplin berat, berupa :
1.     Penurunan pangkat setingkat lebih rendah selama 3 (tiga) tahun;
2.     Pemindahan dalam rangka penurunan jabatan setingkat lebih rendah;
3.     Pembebasan dari jabatan;
4.     Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS, dan
5.     Pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS.


2.6        PNS Belum Sepenuhnya Netral
Secara umum  kenapa netralitas PNS itu masih belum sepenuhnya dapat dijalankan ?
Penyebabnya  berasal dari faktor internal, dan faktor eksternal. Internal adalah yang menyangkut PNS sendiri berupa: Pertama, kebiasaan bahkan sudah menjadi bakat seseorang untuk selalu ingin terlibat dalam kegiatan kegiatan politik praktis, kemungkinan karena terlalu lama berkecimpung di organisasi politik ataupun memang telah merupakan pendirian yang dianutnya. Kedua, kurang percaya diri, kemungkinan karena tidak memiliki kemampuan baik dari segi pengetahuan ataupun ketrampilan yang dimilikinya, artinya tidak profesional. Ketiga, ambisi yang besar untuk memperoleh jabatan tertentu, sehingga diharapkan dengan pemihakan ini akan diperoleh imbalan berupa jabatan yang akan diduduki. Keempat, solidaritas yang kurang sesama PNS, sehingga masing masing PNS menyelamatkan diri masing-masing, yang dikenal dengan istilah “SDM” (selamatkan diri masing masing), ataupun juga terdapat “dendam” di antara PNS. Kelima, primodialisme berupa hubungan kekeluargaan, kedaerahan, kepentingan materi, kesukuan dan sejenisnya.

Penyebab eksternal yaitu diluar diri PNS, berupa: Pertama, kebiasaaan atau kebijakan masa lalu yang cukup lama mempengaruhi pemikiran bahkan sikap dari PNS, yaitu adanya istilah monoloyalitas pada kelompok tertentu, bahkan kepada orang tertentu. Kedua, terdapat provokasi bahkan ancaman kepada PNS oleh pimpinan ataupun orang-orang yang ditugaskan pimpinan untuk mengajak PNS agar memihak. Ketiga, janji janji yang dilemparkan atau yang diutarakan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada PNS.  Keempat, masih lemahnya pengawasan dari yang berwenang terhadap yang melakukan pelanggaran aturan tentang netralitas ini, dan kurang tegasnya pelaksanaan sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan. Kelima, pemanfaatan peraturan perundangan oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menggunakan PNS bagi kepentingan pribadi atau kelompoknya.

Untuk mengatasi hal tersebut, maka kedepan langkah yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka memelihara dan mempertahankan Netralitas PNS tersebut antara lain:
1). Segera dilakukan revisi terhadap pasal 1 angka 4 dan 5 Undang undang No 43 tahun 1999  tentang Pokok pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa Pejabat pembina kepegawaian Daerah Provinsi adalah Gubernur dan pejabat pembina kepegawaian daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota, disejalankan dengan pasal 122 ayat (4)  dan penjelasan angka 8 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah. Pasal 122 ayat (4), berbunyi: Sekretaris Daerah karena kedu­dukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pada Penjelasan angka 8 berbunyi: Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pejabat karier tertingi pada pemerintah daerah tersebut adalah Sekretaris Daerah.
2). Sekretaris Daerah hendaknya diangkat dari pegawai yang benar-benar kompetensi dan profesinalnya dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan latar belakang pengetahuan, keterampilan, track record dan pengalamannya di bidang administrasi dan manajemen pemerintahan.
3). Menghilangkan intervensi pejabat politis dalam menempatkan PNS  pada seluruh tingkatan eselonering disetiap unit kerja (SKPD).
4). Mutasi, rotasi, demosi maupun hukuman sampai kepada pemberhentian haruslah didasarkan pada pertimbangan objektif dan rasional yang didasari oleh kriteria yang ditetapkan dalam undang undang dan peraturan pemerintah.
5). Apabila ada PNS yang menang dalam perkara yang diajukan pada PTUN yang menyangkut status, kedudukan dan hak PNS, hendaknya wajib dieksekusi atau dilaksa­nakan, dan kalau tidak dilaksanakan maka pejabat yang ditugaskan unutk mengeksekusi tersebut diberi sanksi.
6). Pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini, sekaligus pemberian sanksi yang tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya bagi PNS, tapi juga bagi mereka/orang yang mempengaruhi PNS  untuk tidak berbuat netral.
7). Dibuat lagi aturan, bahwa pejabat incumbent yang mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah harus mengundurkan diri semenjak resmi menjadi calon.

Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan kerja keras dan perobahan pola pikir (mind set)  dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan daerah baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik.  Tentunya juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan diri kepada seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang mandiri dan profesional. Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat asal ada kemauan dan kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata atau tulisan, tapi dibuktikan dalam kebijakan dan tindakan.

Tanggungjawab Pejabat Pembina Kepegawaian
Mengacu kepada surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : K.26-30/V.31-3/99, tanggal 12 Maret 2009, untuk mencegah terjadinya pelanggaran masalah netralitas PNS dalam pemilukada, pemilu calon legislatif (DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota), anggota DPD, dan calon Presiden/Wakil Presiden, maka Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, dan Daerah Provinsi/Kabupaten/Kota, bertanggungjawab untuk :
a.     Mensosialisasikan mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;
b.    Mengecek dan mengawasi implementasi mengenai netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden;
c.     Memberikan hukuman apabila terdapat PNS di lingkungannya yang melakukan pelanggaran terhadap netralitas PNS.











BAB III
PENUTUP

3.1        Kesimpulan
            Berdasarkan penjelasan di depan, dapat kita tarik kesimpulan sebagai berikut:

PENGALAMAN MASA LALU:
• Masa ORLA (1950-1965) jatuh bangunnya kabinet berdampak pd stabilitas kepegawaian
• Masa ORBA (1966-1997), PNS dijadikan alat politik utk mempertahankan kekuasaan
• Masa Reformasi ditakutkan PNS dijadikan alat politik

PENGATURAN NETRALITAS PNS:
Netralitas atau neutrality (kenetralan) berasal dari kata neutral yang berarti murni (Echols dan Shadily, 1989). Murni dalam hal ini disamakan dengan tidak memihak.
Dalam konteks manajemen PNS, UU Nomor 43 Tahun 1999 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian kata ’netralitas’ dijumpai pada pasal 3 dan berikut kutipannya selengkapnya.
(1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan.
(2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
(3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan atau pengurus partai politik.

PENGERTIAN NETRAL
a. Sikap tdk memihak dan tdk berpihak thd salah satu kelompok/ golongan.
b. Tidak diskriminatif.
c. Steril dari kepentingan kelompok.
d. Tidak terpengaruh dari kepentingan partai politik.

PNS HARUS NETRAL
1. Netral, untuk menghindari pengkotakkan, konflik kepentingan dan diskriminasi pelayanan.
2. Menjamin PNS sebagai perekat persatuan bangsa dalam kerangka NKRI.
3. Netralitas PNS sebagai salah satu prakondisi untuk meningkatkan profesionalisme PNS

DAMPAK KETIDAKNETRALAN PNS
• Peran dan fungsi PNS sebagai alat pemersatu, pelayan, penyelenggara pemerintahan tidak ber-jalan
• Diskriminasi pelayanan;
• Pengkotak-kotakan PNS
• Konflik kepentingan
• Tidak Profesional lagi

PNS YANG MENJADI CALON KEPALA/ WAKIL KEPALA DAERAH
• Wajib mengajukan surat pernyataan pengunduran diri dari jabatan negeri yang disampaikan kepada atasan langsung
• Atasan langsung meneruskan kepada Pejabat yang berwenang (PYB)
• Setelah menerima SP pengunduran diri PNS, PYB menetapkan keputusan pemberhentian dari jabatan negeri, dan berlaku TMT ybs ditetapkan sebagai Calon KD/WKD oleh KPUD
• Bila usia PNS tsb telah 56 th atau lebih, setelah diberhentikan dari jabatan negeri, ybs diberhentikan dengan hormat sebagai PNS mulai akhir bulan diberhentikan dari jabatan negeri

3.2        Saran
Salah satu gagasan untuk menciptakan peran PNS modern dalam fungsinya yang ideal adalah PNS yang netral. Netral berarti menempatkan posisi PNS pada wilayah yang seharusnya, yakni sebagai alat negara yang menjalankan tugas kenegaraan. Karena pada dasarnya pegawai negeri yang mendapat upah secara tetap dan dijamin kesejahteraannya oleh negara sudah semestinya berada dalam sistem administrasi ke tata negaraan belaka.  Pengabdian yang harus diberikan oleh PNS pun bukan kepada parpol atau golongan tertentu, melainkan kepada masyarakat secara keseluruhan. Menahan diri untuk tetap netral dan mengabdi secara professional, serta berkarir secara alamiah, membuat PNS  tidak lagi dihantui rasa was-was dalam meniti karier dan tidak terbawa arus pusaran politik sesaat.
Pada sisi yang lain, penilaian pegawai, promosi dan mutasi jabatan dalam birokrasi diharapkan dilakukan secara transparan dan berdasarkan variabel-variabel objektif seperti kompetensi, prestasi kerja dan daftar urut kepangkatan (DUK) serta jejak rekam karier seorang birokrat. Sehingga ada kepastian karir PNS dan tidak jatuh bangun seirama naik turunnya pejabat politik dari satu pilkada ke pilkada berikutnya. Persoalan sering muncul ketika penunjukkan seseorang atas sebuah jabatan bukan di dasarkan pada kemampuan, tetapi menjurus pada selera penguasa atu atas dasar kedekatan.
Netralitas PNS menjadi penting karena semakin banyaknya pejabat negara mulai dari presiden, menteri, gubernur, bupati, walikota, yang berasal dari partai politik. Kondisi ini akan membawa implikasi serius terhadap netralitas birokrat. PNS dituntut bertindak profesional antara menjaga netralitas dalam memberikan pelayanan sekaligus tetap menjunjung loyalitas terhadap atasan, meskipun beda warna politiknya. Sehingga PNS tidak mudah terbawa arus pusaran politik atau terkooptasi oleh kepentingan politik atasannya.
Untuk mengatasi masalah-masalah mengenai PNS yang tidak sepenuhnya bersikap netral, maka kedepan langkah yang mungkin dapat ditempuh dalam rangka memelihara dan mempertahankan Netralitas PNS tersebut antara lain:
1). Segera dilakukan revisi terhadap pasal 1 angka 4 dan 5 Undang undang No 43 tahun 1999  tentang Pokok pokok Kepegawaian yang menyebutkan bahwa Pejabat pembina kepegawaian Daerah Provinsi adalah Gubernur dan pejabat pembina kepegawaian daerah kabupaten/kota adalah bupati/walikota, disejalankan dengan pasal 122 ayat (4)  dan penjelasan angka 8 Undang-Undang No 32 tahun 2004 tetang Pemerintahan Daerah. Pasal 122 ayat (4), berbunyi: Sekretaris Daerah karena kedu­dukannya sebagai pembina pegawai negeri sipil di daerahnya. Pada Penjelasan angka 8 berbunyi: Berdasarkan prinsip dimaksud maka pembina kepegawaian daerah adalah pejabat karier tertinggi pada pemerintah daerah. Perlu diketahui bahwa pejabat karier tertingi pada pemerintah daerah tersebut adalah Sekretaris Daerah.
2). Sekretaris Daerah hendaknya diangkat dari pegawai yang benar-benar kompetensi dan profesinalnya dapat dipertanggung jawabkan berdasarkan latar belakang pengetahuan, keterampilan, track record dan pengalamannya di bidang administrasi dan manajemen pemerintahan.
3). Menghilangkan intervensi pejabat politis dalam menempatkan PNS  pada seluruh tingkatan eselonering disetiap unit kerja (SKPD).
4). Mutasi, rotasi, demosi maupun hukuman sampai kepada pemberhentian haruslah didasarkan pada pertimbangan objektif dan rasional yang didasari oleh kriteria yang ditetapkan dalam undang undang dan peraturan pemerintah.
5). Apabila ada PNS yang menang dalam perkara yang diajukan pada PTUN yang menyangkut status, kedudukan dan hak PNS, hendaknya wajib dieksekusi atau dilaksa­nakan, dan kalau tidak dilaksanakan maka pejabat yang ditugaskan unutk mengeksekusi tersebut diberi sanksi.
6). Pengawasan yang lebih ketat terhadap ketentuan mengenai netralitas PNS ini, sekaligus pemberian sanksi yang tegas, adil dan tidak diskriminatif bukan hanya bagi PNS, tapi juga bagi mereka/orang yang mempengaruhi PNS  untuk tidak berbuat netral.
7). Dibuat lagi aturan, bahwa pejabat incumbent yang mencalonkan diri untuk menjadi kepala daerah harus mengundurkan diri semenjak resmi menjadi calon.

Guna mewujudkan apa yang dikemukakan diatas memang diperlukan kerja keras dan perobahan pola pikir (mind set)  dan kesatuan tindakan sejak dari pusat dan daerah baik legislatif maupun eksekutif termasuk para elit pemerintahan dan politik.  Tentunya juga para PNS haruslah merobah pola pikir dan perilaku yang selalu menggantungkan diri kepada seseorang atau kelompok tertentu bahkan tidak percaya diri, kepada yang mandiri dan profesional. Kuncinya, tidak ada sesuatu yang berat asal ada kemauan dan kemampuan untuk itu, tidak hanya dalam bentuk kata kata atau tulisan, tapi dibuktikan dalam kebijakan dan tindakan.


















DAFTAR PUSTAKA

·         Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang  Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian;
·         Undang-Undang Nomor Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
·         Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPRD, dan DPD;
·         Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Calon Wakil Presiden;
·         Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2004 tentang larangan PNS menjadi Anggota Partai Politik;
·         Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2005 Jo Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah;
·         Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS;
·         Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 10 Tahun 2005 tentang PNS yang menjadi calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah;
·         Surat Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor: K.26-30/V.31-3/99 tanggal 12 Maret 2009 tentang Netralitas PNS dalam Pemilihan Umum Calon Legislatif dan Calon Presiden/Wakil Presiden.
·         Prakoso Djoko, SH. 1999. Pembinaan Pegawai Negeri Sipil. Jakarta: PT. Melton Putra
·         www.google.com