Jumat, 17 Juni 2011

PENGELOLAAN KEUANGAN DAN BELANJA DAERAH


A. Pendahuluan
Wacana tentang good governance atau tata kelola pemerintahan yang baik telah menjadi pembicaraan sehari-hari baik di kalangan akademisi maupun di kalangan para praktisi. Jauh sebelum istilah tersebut dikenal di Indonesia istilah pemerintahan yang amanah sebenarnya sudah diperkenalkan jauh sebelumnya. Persoalannya bukan terletak pada ciri-ciri atau karakteristik yang melekat pada istilah tersebut, tetapi lebih pada perilaku para pemimpin selaku pemegang otoritas pemerintahan beserta birokrasi pendukungnya.
Wacana tentang tata kelola pemerintahan yang baik atau pemerintahan yang amanah tidak akan merubah realitas apapun jika karakteristik yang melekat pada istilah tersebut tidak diterjemahkan kedalam perilaku para pemimpin pemerintahan dan para birokratnya. Di sini letak permesalahannya, mengapa tata kelola pemerintahan yang baik hingga saat ini belum sepenuhnya termanivestasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik diperlukan dua pendekatan yakni pendekatan structural yang mengarah pada perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pendekatan cultural yang mengarah pada perilaku para penyelenggara pemerintahan sebagaimana yang dicirikan oleh tata pemerintahan yang baik itu sendiri.
Pendekatan structural ditandai dengan perubahan berbagai aturan baik berupa undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan presiden sampai peraturan daerah, sementara pendekatan cultural ditandai dengan dilaksanakannya nilai-nilai organisasi/norma-norma organisasi untuk terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Mencermati perjalanan otonomi daerah, secara umum belumlah memperlihatkan hasil yang diharapkan,kendati ada juga beberapa daerah yang telah berhasil dengan baik, sesuai dengan filosofi dan semangat otonomi daerah itu sendiri. Jika diteliti dengan seksama, banyak faktor yang menyebabkan kurang berhasilnya pelaksanaan otonomi daerah selama ini. Salah satu factor itu adalah kemampuan daerah untuk mengelola keuangan dan asset daerahnya secara efektif, efisien, akuntabel dan berkeadilan. Hal ini bisa dilacak dari lemahnya perencanaan, pemprograman, penganggaran, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan serta pertanggungjawaban. Kenyataan membuktikan bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya diterjemahkan dengan benar, hal ini terindikasi dengan masih banyaknya penyimpangan, seperti korupsi, pemborosan, salah alokasi serta banyaknya berbagai macam pungutan daerah yang kontra produktif dengan upaya-upaya peningkatan pertumbuhan perekonomian daerah dan peningkatan pendapatan masyarakat.


B. Paradigma Baru Pengelolaan Keuangan Daerah (APBD)
Paradigma baru pengelolaan keuangan daerah (APBD) didorong oleh hal-hal sebagai berikut :
1. Meningkatnya tuntutan masyarakat daerah terhadap pengelolaan APBD secara transparan dan akuntabel.
2. Pemberlakuan Undang-undang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang tentang Perimbangan Keuangan Daerah yang baru serta Peraturan Pelaksanaannya.
3. Sistem, prosedur, format dan struktur APBD yang berlaku selama ini dinilai kurang mampu mendukung tuntutan perubahan sehingga perlu perencanaan APBD yang sistematis, terstruktur dan komprehensif.

Perencanaan APBD dengan paradigma baru tersebut adalah :
1. APBD yang berorientasi pada kepentinga publik,
2. APBD disusun dengan pendekatan kinerja,
3. Terdapat keterkaitan yang erat antara pengambil kebijakan (decision maker) di DPRD dengan perencanaan operasional oleh pemerintah daerah dan penganggaran oleh unit kerja,
4. Terdapat upaya untuk mensinergikan hubungan antara APBD, Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, Lembaga Pengelolaan Keuangan Daerah dan Unit-unit Pengelola Layanan Publik dalam pengambilan kebijakan.

Dalam rangka pertanggungjawaban publik, pemerintah daerah seharusnya melakukan optimalisasi anggaran yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengalaman yang terjadi selama ini menunjukkan bahwa menajemen keuangan daerah masih memprihatinkan. Anggaran daerah, khususnya pengeluaran daerah belum mampu berperan sebagai insentif dalam mendorong laju pembangunan di daerah. Di samping itu, banyak ditemukan keluhan masyarakat yang berkaitan dengan pengalokasian anggaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan skala prioritas, serta kurang mencerminkan aspek ekonomi, efisiensi, dan efektivitas, keadilan dan pemerataan.
Pengelolaan keuangan daerah, khususnya pengelolaan anggaran daerah, dalam konteks otonomi dan desentralisasi menduduki posisi yang sangat penting. Namun hingga saat ini, kualitas perencanaan anggaran daerah yang digunakan masih sangat lemah. Hal ini dapat dimengerti oleh karena masih banyak aparatur daerah maupun aparatur pemerintah pusat yang belum sepenuhnya bisa meninggalkan cara berfikir lama. Gejala ini tampak dari ketidakberanian aparatur daerah untuk mengambil keputusan, sekalipun hal itu berada dalam ranah kekuasaannya. Kebiasaan mohon petunjuk atau bersikap menunggu petunjuk pelaksanaan adalah sesuatu yang sangat lumrah yang menjadi pemandangan keseharian. Akibatnya, proses perencanaan anggaran daerah dengan paradigm lama cenderung lebih sentralistis. Perencanaan anggaran didominasi dan diintervensi oleh pemerintah pusat dalam rangka mengakomodasikan kepentingan pusat di daerah. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah hanya mengikuti petunjuk dari pemerntah pusat dan/atau perintah atasan.
Lemahnya perencanaan anggaran juga diikuti dengan ketidakmakmuran pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah secara berkesinambungan. Sementara itu, pengeluaran daerah terus meningkat secara dinamis, sehingga hal tersebut meningkatkan fiscal gap. Keadaan tersebut pada akhirnya memunculkan kemungkinan underfinancing atau overfinancing yang dapat mempengaruhi tingkat efisiensi dan efektivitas unit-unit kerja pemerintah daerah.
Agar pemerintah daerah dapat mengelola anggaran daerah berdasarkan pada kewajaran ekonomi, efisien, dan efektif (value for money), maka perencanaan anggaran daerah harus disusun berdasarkan pendekatan kinerja. Untuk menyusun anggaran daerah dengan pendekatan kinerja tersebut dapat digunakan model Analisa Standar Belanja (ASB).

Perbedaan Anggaran Tradisional dengan Anggaran Kinerja
ANGGARAN TRADISIONAL ANGGARAN KINERJA
1. Sentralistis 1. Desentralistis
2. Berorientasi pada input 2. Berorientasi pada output, dan outcome
3. Tidak terkait dengan perencanaan jangka panjang 3. Utuh dan komprehensif dengan perencanaan jangka panjang
4. Line-item dan bersifat incremental 4. Berdasarkan sasaran kinerja
5. Fragmented 5. Komprehensif
6. Ciri lainnya :
Prinsip anggaran bruto
Bersifat tahunan
Spesifik 6. Ciri lainnya :
Sistematik dan rasional
Bottom-up budgeting
Spesifik

C. Analisa Standar Belanja (ASB) dan Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)
Sebagaimana diketahui bahwa berbagai kelemahan dan permasalahan dalam perencanaan pengeluaran daerah akan berimplikasi pada rendahnya kinerja Pemerintah Daerah dalam melaksanakan berbagai aktivitas pelayanan yang harus diberikan kepada masyarakat. Untuk itu, diperlukan adanya berbagai penyempurnaan, perubahan, dan penambahan pada instrument pengelolaan keuangan daerah pada umumnya, dan anggaran daerah pada khususnya. Setidaknya terdapat dua perubahan mendasar yang dibutuhkan, yaitu : perlunya Analisa Standar Belanja (ASB) dan perlunya reformasi pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah.
1. Analisa Standar Belanja (ASB)
PP Nomor 58 Tahun 2005 dan Permendagri Nomor 13 tahun 2006 Tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban daerah dalam pelaksanaan desentralisasi telah memunculkan konsep mengenai Analisis Standar Belanja (ASB) sebagai dasar penentuan besarnya alokasi dana untuk setiap kegiatan Pemerintah Daerah. Konsep ini merupakan langkah maju untuk meningkatkan kapabilitas dan efektifitas pemerintah daerah.
ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya terhadap suatu kegiatan.
a. Tujuan ASB adalah :
1) Meningkatkan kemampuan unit kerja dalam menyusun anggaran
2) Mencegah terjadinya duplikasi kegiatan dan anggaran belanja pada masing-masing dan antar Unit Kerja
3) Menjamin kesesuaian antara kegiatan dan anggaran
4) Meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan Keuangan Daerah.

b. Manfaat diterapkannya ASB antara lain:
1) Pemerintah daerah dapat menentukan kewajaran biaya untuk melaksanakan suatu kegiatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya.
2) Pemerintah daerah dapat meminimalisir terjadinya pengeluaran yang kurang jelas yang menyebabkan inefisiensi anggaran.
3) Menghindari tumpang tindih (overlapping) program dan anggaran antar unit kerja.
4) Penentuan anggaran berdasarkan tolak ukur kinerja yang jelas.
5) Unit kerja mendapat keleluasaan yang lebih besar untuk menentukan anggarannya sendiri.
Dalam rangka perhitungan ASB, anggaran belanja unit kerja dikelompokkan menjadi Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung.

2. Anggaran Berbasis Kinerja

Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan.
Dengan demikian, anggaran yang disusun memuat informasi/keterangan antara lain :
1. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja.
2. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan.
3. Persentase dari jumlah APBD yang dipergunakan untuk membiayai Belanja Langsung dan Belanja Tidak Langsung.

Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD) yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan, dan bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
by NP. YUANDA OGI PRAMANA

1 komentar:

  1. Apakah sudah ada Daerah yang menggunakan Analisa Standar Belanja untuk penyusunan APBD-nya? Dan seperti apa rumusan untuk menghitung ASB tersebjut? Bisa beri contoh?

    BalasHapus