Jumat, 25 Maret 2011

HUKUMAN MATI DAN HAK AZASI MANUSIA

1.1 LATAR BELAKANG

Kodrat manusia sebagai makluk sosial memerlukan manusia lain dalam memenuhi berbagai kabutuhannya. Demikian seterusnya sehingga kompleksitas hubungan antar manusia tersebut terbentuk dalam sebuah kelompok yang kemudian disebut masyarakat. Jadi masyarakat adalah sekumpulan dari manusia yang karena kodratnya saling berinteraksi satu sama lain untuk suatu tujuan tertentu. Meskipun demikian, tujuan ini dapat berbeda antara kelompok manusia, misalnya berkelompok atau berkumpul dalam sebuah pernikahan, bekerjasama untuk keselamatan bersama, untuk kepentingan daerah, karena hubungan kerja, kekerabatan dan lainnya.

Di satu sisi, beragamnya kepentingan yang ada antar manusia dalam sebuah kelompok dapat terpenuhi secara damai, disisi lain keanekaragaman tersebut juga dapat menimbulkan konflik jika tata cara pemenuhan kepentingan tersebut dilakukan tanpaada keseimbangan sehingga akan melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu, agar proses pemenuhan kepentingan masing-masing manusia tidak berpeluang menimbulkan konflik, maka diperlukan adanya aturan yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam mengadakan kontak / hubungan. Aturan itu adalah hukum.

Semakin bebas masyarakat suatu bangsa maka kecenderungan untuk menjadi masyarakat yang taat hukum semakin melemah. Begitu pula dalam penghargaan terhadap HAM. Hal itu dapat dilihat dengan semakin banyaknya tindak kejahatan yang mencakup sebagian besar aspek kehidupan, mulai dari pencurian, pengelapan dana, penganiayaan, hingga perampasan hak untuk hidup seseorang atau pembunuhan. Oleh karena itu perlu adanya hukum yang jelas dan tegas untuk mengatasi masalah tersebut. Meskipun demikian, tetap saja kadang kala hukum yang tegas justru malah ditentang karena dianggap tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM. Sebagai contoh adalah hukuman mati.

Akhir-akhir ini, sebagian dari kita mungkin telah mendengar banyak berita tentang protes dan kritik dari berbagai elemen masyarakat tentang pelaksanaan hukuman mati. Sebagian besar dari mereka yang memprotes adanya hukuman mati tersebut beranggapan bahwa hukuman mati merupakan sebuah praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia; yaitu hak untuk hidup. Mereka beranggapan bahwa dengan menghukum mati seseorang maka secara jelas kita telah merampas hak untuk hidup orang terhukum tersebut. Akan tetapi, dilihat dari sisi hukum dan keadilan, maka hukuman mati merupakan sebuah praktik hukum yang adil. Pendapat yang sering diajukan sebagai pembelaan atas pelaksanaan hukuman mati adalah bahwa orang terhukum tersebut pantas dihukum mati. Jadi dapat kita terlihat ada dua sisi yang bertentangan. Satu adalah sisi Hak Asasi Manusia, sedangkan sisi lainnya adalah keadilan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini, penulis akan mencoba untuk membuat sebuah ulasan tentang kompleksitas hubungan yang ada antara hukuman mati, Hak Asasi Manusia, dan keadilan.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan penjalas diatas, jelas bahwa permasalahan yang akan penulis bahas dalam paper ini adalah kompleksitas hubungan antara Hak Asasi Manusia, hukuman mati. Apakah hukum mati adalah suatu praktik hukum yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia atau malah sebaliknya; sebuah praktik hukum yang melindungi Hak Asasi Manusia?
1.3 TUJUAN
Adapun tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui apakah hukum mati adalah suatu praktik hukum yang bertentangan dengan Hak Asasi Manusia atau malah sebaliknya; sebuah praktik hukum yang melindungi Hak Asasi Manusia.
KEPUSTAKAAN
Dalam bab ini, penulis akan menjelaskan beberapa hal, antara lain; hukum dan Hak Asasi Manusia. Ini dimaksudkan untuk memberikan sedikit gambaran dan pengetahuan dasar bagi pembaca untuk lebih memahami dan mengikuti apa yang penulis coba untuk jelaskan dalam makalah ini.
2.1 Hukum
Secara etimologis istilah “hukum” telah menjadi bahasa nasional Indonesia. Istilah hukum sering kali disinonimkan dengan “recht” {Belanda}, ‘law’ {Inggris}dan lain sebagainya. Istyilah hukum berasal dari bahasa Arab, dalam pengertian jamak adalah ‘ahkam’ yang diartikan segala hukum, undang-undang arau aturan yang dihasilkan dari proses musyawarh para wakil rakyat. Hukum juga dapat diartikan dengan ‘itsbaatusyai-in ‘ala sya-iru’ yang berarti menetapkan sesuatu atas sesuatu {A. Hamzah, 1986:27}. Sedangkan dalam konteks kedaulatan, kata ‘hakim-iyah’ diartikan bahwa kedaulatan hukumyang merupakankekuasaan tertinggi.
Keragaman disiplin ilmu serta latar belakang pengalaman seseorang, menyebabkan beragam pula dalam memberikan arti tentang hukum. Jika bertanya kepada seseorang tentang “apakah hukum itu?” maka akan ditemukan jawaban yang sangat variatif yang memiliki titik tekan berbeda satu sama lain. Umumnya pengertian tentang hukum diartikan sangat beragam sebagai berikut: {Dirdjosisworo, 1983: 25; rahadjo, 1983: 26; Wignjodipoero, 1979:9}.

Namun telah kita sepakati bersama bahwa pengertian hukum adalah aturan atau norma yang dibuat oleh pihak berwenang yang bersifat mengikat dan memaksa dan bertujuan menciptakan ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.
Setalah kita menyepakati bahwa sifat hukum adalah mengatur dan memaksa, oleh karena itu, barang siapa yang melakukan pelanggaran terhadap hukum wajib mempertanggungjawabkan secara hukum dan dapat dikenai sanksi atau hukuman sesuai dengan pelanggarannya.Agar hukum tetap ditaati oleh setiap orang maka kualitas hukum harus dijaga. Hukum yang berkualitas adalah hukum yang emngandung nilai-nilai keadilan bagi seluruh masyarakat dan sesuai dengan kehendak / aspirasi mereka. Sebab, hukum yang baik akan menjamin kepastian hak dan kewajiban secara seimbang kepada tiap-tiap orang. Oleh karena itu, tujuan hukum di samping akan menjaga kepastian hukum juga menjaga sendi-sendi keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Sumber hukum adalah segala sesuatu yang atau azas tertinggi tempat berasalnya hukum yang lain dimana itu bersifat memaksa dan mengikat. Sumber hukum dibedakan atas dua hal yaitu sumber hukum materiil yang dilihat dari substansinya adalah sumber yang akan menentukan isi hukum. Dalam konkret sumber hukum materiil berupa tindakan manusia yang dianggap sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan. Dan untuk menentukan isi hukum agar benar-benar dapat menjadi kaidah ditentukan oleh beberapa hal, yaitu: oleh keyakinan individu / kelompok dan fakta-fakta konkret yang terjadi di masyarakat.
Sebagai contoh adalah KUHP “pidana”, KUHP “Perdata”, KUHD “dagang”.
Sumber hukum formil yang dilihat dari bentuk atau format. Serta akan menetukan berlakunya suatu kaidah menjadi hukum secara resmi {formal}. Caranya, dilaksanakan berdasarkan mekanisme yang telah ditentukan sndiri oleh hukum. Menurut pandangan umum, sumber hukum formal dibagi atas beberapa macam, yaitu: Pancasila, UUD 1945, UU, Konvensi, Yurisprudensi, Traktat, Doktrin. {Wasis SP,1998:66 }.

Pancasila berperan sebagai sumber dari segala sumber hukum. UUD 1945 dibagi meliputi pembukaan yang membahas masalah kemerdekaan, kemanusiaan, eksistensi bangsa, perlindungan terhadap warga negara. Batang tubuh yang membahas masalah system pemerintahan dan hak serta kewajiban warga negara. UU mempunyai ketentuan apabila ada UU yang khusus yang umum ditinggalkan, dan UU yang tinggi mengalahkan UU yang rendah.
Konvensi sebagai kebiasaan yang dilakukan masyarakat bersifat memaksa dan mengikat golongan tertentu. Yurisprudensi merupakankeputusan hakim yang terdahulu yang kemudian dijadikanacuan hakim yang lain untuk memutuskan perkara yang sama. Traktat merupakan perjanjian. Serta doktrin atau pendapat ahli hukum atau ahli lain tentang hukum yang masuk dalam sumber hukum formil apabila doktrin telah diguanakan untuk menyelesaikan masalah.
Disamping hukum yang dibuat oleh manusia, ada pula hukum yang dibuat langsung oleh Tuhan Yang Maha Esa atau biasa disebut dengan hukum agama. Agama adalah sesuatu yang diyakini secara batiniah oleh seseorang. Keyakinan iniakan mempengaruhi perilaku dan pola pikir seseorang pada tahap selanjutnya. Oleh karena itu, seseorang ahli agama beranggapan bahwa sumber yang menentukan isi hukum tidak lain adalah kitab suci agama; misalnya kalau Isalam adalah Al Qur’andan Hadits.
2.2 Hak Asasi Manusia

Mengenai Hak Asasi Manusia atau biasa disebut dengan HAM, sangatlah sensitive untuk dipermasalahkan. Pengadilan HAM asasi Manusia sudah selayaknya dan bahkan sagat tepat didirikan di Indonesia. Dalam suatu seminar tentang Hak Asasai Manusia yang diselenggarakan di Indonesia di kota Bandung 1967, telah direkomendasikan agar perjuangan perlindungan Hak asasi Manusia juga harus masuk dalam proses peradilan pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan penyidangan di pengadilan, bahkan perlakuan terhadap narapidana.
Pendapat yang menganggap Indonesia baru masuk dalam perjuangan perlindungan Hak Asasi Manusia dengan diundangkannya UU pada tanggal 23 september 1999 telah dituangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pertimbangan diundangkannya undang-undang ini terutama: Bahwa Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

Bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota perserikatan Bangsa Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa serta berbagai instrument internasional lainnya mengenai Hak Asasi Manusia yang telah diterima oleh nergara Republik Indonesia. {Soedjono Dirdjosisworo, 2002:1}.
Pengadilan Hak Asasi Manusia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan Hak Asasi Manusia. Keberadaan Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia secara hukum “mennjawab” bahwa Indonesia mau dan mampu dengan sungguh-sungguh mengadili pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, seperti yang diamanatkan Deklarasi Hak-Hak Asasi Manusia dan berbagai instrument Internasional tentang Hak Asasi Manusia serta Peradilan Pidana Internasional.
Bahkan, Pancasila sebagai flsafah bangsa dan Mukadimah UUD 45 sudah mengandung nilai-nilai perlindungan Hak Asasi Manusia.

Mengenai Hukum Acara Pidana dalam Peradilan Hak Asasi Manusia Indonesia rumusan UU No. 26 Tahun 2000 menetapkan bahwa dalam hal tidak ditentukan lain dalam UU No 26 Tahun2 ini, hukum acara atas pelanggaran HAk Asasi Manusia yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana pasal 10 yang berbunyi: “ Setiap orang berhak, dalam persamaan yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya.”
“Sesuai dengan prinsip-prinsip yang dinyatakan dalam piagam PBB, pengakuan atas martabat yang melekat dan hak-hak yang sama dan tidak dapatt dicabut dari semua anggota umat manusia merupakan landasan kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia.” Dan hal inilah yang menjadi landasan dan arti penting kovenan Hak Sipil. Dengan begitu maka terbentuklah komisi yang merumuskan hak-hak dan melakukan segala upaya yang dapat menjamin hak-hak itu dihormati dan dipatuhi secara internasional.{Ifdhal Kasim, 2001:1} Dan di Indonesia disebut dengan Komnas HAM.

BAB III
PEMBAHASAN
Bagaimana kedudukan atau peran Hak Asasi Manusia dalam penegakan hukum di Indonesa tidak terlepas dari bagaimana hukum itu berjalan dan ditegakkan. Sering kita mendengar bahwa ketika hukum akan ditegakkan sebagaimana mestinya ada beberapa pihak datang dan memprotes serta menentang dengan alasan bahwa hukuman yang diberikan terhadap pihak terpidana tersebut melanggar Hak Asasi Manusia. Hal seperti ini sering terjadi terutama pada hukuman yang menyangkut masalah hidup matinya seseorang.

Memang benar pada dasarnya hak asasi manusia dimaksudkan untuk memajukan dan melindungi martabat, kepentingan, dan kebutuhan manusia seorang individu. Dan jika ada hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk mencapai maksud tersebut, tentu saja hak itu adalah hak atas hidup, kebutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung; tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna.
Berkaitan dengan hal tersebut, hukuman mati adalah suatu yang dianggap paling bertentangan dengan HAM serta hukuman yang paling ekstrem yang pernah ditetapkan oleh hukum. Meskipun sebagian kalangan mengutuk hukuman mati, tetap saja ada banyak pihak yang mendukung adanya hukuman mati dengan dasar supaya tidak terjadi kejahatan yang serius, mencegah pelanggaran melakukan kejahatan lebih lanjut, dan untuk menyatakan adanya kebiadaban moral terhadap masyarakat.

Di Indonesia, Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia yang berdasarkan Undang-Undang no. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad hoc jo. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak asasi Manusia memiliki posisi strategis. Itu berarti bahwa dari Peradilan Hak asasi Manusia di Indonesia akan terpancar suatu keadaan yang diobservasi oleh banyak kalangan yang mendambakan kebenaran dan keadilan. Apabila mekanisme peradilan dapat secara transparan menyimak dan mengungkapkan langkah-langkah yang objektif dan “bersih” serta penerapan Undang-Undang secara konsekuen dan konsisten, maka pengadilan HAM akan dinilai mampu dan dengan serius mau malaksanakan tugas mengadili pelanggar HAM berat, yang akan diikuti dengan dampak-dampak positif, baik dalam proses perlindungan HAM di Indonesia dan dalam forum perlindungan HAM Internasional. Dan agenda besar yang saat ini dicanangkan adalah penghapusan hukuman mati.

Peran strategis ini juga tidak terbatas pada masalah penegakkan hukum dalam perlindungan HAM semata-mata, tetapi juga dalam menjaga harkat dan martabat bangsa di mata masyarakat internasional. Oleh karena itu, betapa besarnya tanggung jawab Pengadilan HAM Indonesia, seyogianya tidak hanya diletakkan pada Pengadilan HAM saja, tetapi seluruh komoponen bangsa harus mendukungnya. Sangat strategis pula adalah sikap dan dukungan para politisi, cendikiawan dll.
Atas dasar prinsip kemanusiaan yang tercantum dalam berbagai hukum/perjanjian HAM internasional -di mana Indonesia juga menjadi negara pesertanya- hukuman mati harus ditolak dalam hal:

1. Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu hak untuk hidup ( right to life ). Hak fundamental ( non-derogable rights ) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Kovenan Internasional Hak-hak Sipil Politik, yang secara jelas menyatakan hak atas hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban negara untuk menjaminnya.

2. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, penerapan hukuman mati jelas melanggar Konstitusi RI UUD 1945 sebagai produk hukum positif tertinggi di negeri ini. Pasal 28A UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Hak hidup ini kembali dinyatakan dalam Pasal 4 UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia:
”Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Atas dasar pertimbangan politik hukum di Indonesia , hukuman mati harus ditolak karena:

1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem peradilan yang independen, imparsial, dan aparatusnya yang bersih. Bobroknya sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta yang lampau di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.

2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati ( capital punishment ) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup. Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Bahkan untuk kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.

3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi, di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar biasa. Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban yang jauh lebih tinggi dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis bahkan dituntut hukuman mati.

4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai dengan hukum positif Indonesia . Padahal semenjak era reformasi/transisi politik berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD '45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
”hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.

5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Pemerintah RI sering mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah Arab Saudi untuk tidak menjalankan hukuman mati kepada para WNI-nya di luar negeri, seperti pada kasus Kartini, seorang TKW, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak terjadi pada kasus hukuman mati terhadap WNI dan WNA di dalam negeri RI.

Terlepas dari sudut pandang HAM, ada baiknya dipertanyakan kembali efektivitas dari hukuman mati tersebut. Ketika mengatakan bahwa hukuman mati dimaksudkan untuk memberi efek jera kepada si pelaku kejahatan dan mengharapkan orang lain akan takut untuk melakukan kejahatan yang sama, adakah bukti nyata yang signifikan untuk memperlihatkan bahwa si pelaku kemudian menjadi jera? Bagaimana mungkin kemudian orang yang sudah mati menunjukkan bahwa mereka sudah jera?

Di Cina hukuman mati memang menunjukkan efektivitasnya dalam menekan jumlah tindak kejahatan korupsi. Ketika hukuman mati tersebut diterapkan di Indonesia untuk tindak kejahatan yang sama [korupsi] bisa jadi hukuman mati tersebut adalah jalan yang cukup baik. Lain halnya ketika kita bicara masalah separatisme. Satu hal yang perlu ditekankan, hukuman mati tidak akan menyelesaikan semua masalah semudah yang terlihat. Tidak semua tindak kejahatan akan terselesaikan dengan hukuman mati. Dalam konteks tindak kejahatan korupsi, efek jera akan mengenai orang lain sehingga takut untuk melakukan kejahatan yang sama karena koruptor melakukan korupsi atas dasar memuaskan kebutuhan pribadinya. Mereka tahu yang mereka lakukan adalah salah, dan mereka takut untuk bertanggung jawab. Singkatnya, koruptor bertindak atas kemauan pribadi. Disinilah letak perbedaan yang paling signifikan antara keduanya.

Dalam tindak kejahatan separatisme, mereka yang terlibat adalah sekelompok orang [bukan pribadi] dengan satu kesepahaman pikiran dan tidak merasa bahwa apa yang mereka lakukan adalah sebuah tindak kejahatan. Ketika pemerintah berkeras memberlakukan hukuman mati terhadap para pelaku dan tokoh-tokoh golongan separatisme, yang timbul bukanlah efek jera dan kemudian takut untuk melakukan kejahatan yang sama, namun kemarahan, dendam, semangat dan keberanian untuk meneruskan tindakan separatisme tersebut. Ingat, mereka [golongan separatisme] tidak merasa tindakan mereka adalah sebuah tindak kejahatan karena mereka merasa sejak awal mereka berjuang untuk hak-hak mereka, untuk apa yang mereka yakini seharusnya mereka miliki. Hukuman mati tidak akan dirasakan sebagai pemberi efek jera bagi mereka namun sebagai serangan balik dari pihak pemerintah, semacam gendering perang yang ditabuh untuk melanjutkan peperangan dan bukannya menyelesaikan peperangan.
Dengan demikian abolisi terhadap hukuman mati tetap menjadi sebuah controversial. Dewasa ini, terjadi kemunduran: beberapa negara yang telah menghapuskan hukuman mati, mengadakan kembali hukuman mati, dan beebrpa memperluas kejahatan yang bisa dihukum mati. Dengan pola pikir dasar bahwa hukuman mati tidak dapat dibebankan secara tidak adil dan tidak terduga-duga, dengan tidak mempedulikan hak asasi manusia.

Pasal 6{2} Kovenan menetapkan perlindungan terhadap hukuman mati yang tidak adil dan tidak terduga-duga dengan menyatakan:” di negara-negara yang tidak menghapuskan hukuman mati, maka hukuman mati dapat dibebankan terhadap berbagai kejahatan yang serius sesuai dengan hukuman yang berlaku pada saat perbuatan kejahatan itu dilakukan, dan tidak bertentangan dengan ketentuan kovenan sekarang dan konvensi mengenai pencegahan dan hukum bagi kejahatan pemusnahan suku bangsa. Hukuman ini hanya dapat dilaksanakan sesuai dengan keputusan akhir yang diberikan oleh pengadilan yang kompenten.
Kompeten disini mengacu kepada yuridiksi pengadilan dan tidak dimaksudkan untuk dikaitkan dengan kemampuan seorang hakim atau para hakim pengadilan. Hukuman mati hanya dapat diterapkan sesuai dengan hukum pada saat kejahatan dilakukan. Pembatasan ini menjamin bahwa hukuman mati tidak dapat dibuat retroaktif. Akhirnya, hukuman mati hanya dapat diterapkan sesuai dengan hukum yang tidak brtentangan dengan ketentuan dalam konvenan dan konvensi mengenai pencegahan dan hukuman bagi kejahatan pemusnahan suku bangsa.
Disamping itu, Pasal 6 kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan, setiap manusia memiliki hak atas hidup yang bersifat melekat. Hak atas hidup ini, tidak perlu diragukan lagi, paling penting dari semua hak asasi manusia. Masyarakat yang beradab tidak dapat eksis tanpa ada perlindungan hukum terhadap hidup manusia. Tidak dapat diganggu-gugat hak atau kesucian hidup mungkin merupakan nilai yang paling dasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat final, jika tidak ada hak atas hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lain.
Keterangan danri pasal 6 kovenan adalah mengharuskan hak atas hidup dilindungi oleh hukum. Keharusan ini berarti setiap negara wajib memiliki hukum yang melindungi hak atas hidup dalam sistem hukum dalam negeri. Tidak dapat diganggugugatnya hak hidup memang begitu penting sebab pada dasarnya adalah tidak ada orang yang akan dicabut hidupnya secara sewenang-wenang.

Sedangkan dari sudut hukum agama, Islam juga mengajarkan bagaimana hak hidup juga sangat dihargai. Keterangannya seperti firman Allah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
{QS. Al Hujuraat:13}. Dalam artian bahwa Islam begitu memahami hak asasi manusia, serta mennjunjung tinggi kehormatan serta harkat dan martabat manusia. maka Islam mengajarkan hukuman yang tegas guna melindungi Hak Asasi Manusia. Dan untuk menjaga keselamatan serta ketentraman individu maupun umum, Allah yang Mahaadil dan Mahamengetahui memberikan balasan yang layak atau setimpal sesuai dengan kesalahan yang telah diperbuat dan ditegakkan menurut apabila syarat-syarat ditegakkannya hukuman tersebut telah tercukupi. Sebab Islam juga mempunyai prosedur tersendiri untuk penegakan hukum. Tidak sekedar menghukum mereka para pelaku tindak kejahatan.

Islam sebagai salah satu agama yang begitu tegas mengajarkan hukuman qisas yaitu mengambil pembalasan yang sama. Qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. Pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. Bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat dia mendapat siksa yang pedih.
Bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan yang dianggap terlalu keji dan tidak manusiawi, seperti hukum jinayat yaitu membunuh orang, melukai, memotong anggota tubuh, dan menghilangkan anggota tubuh,serta berzina. Dan karena kejinya perbuatan itu maka pantaslah mereka mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang mereka kerjakan. Seperti yang diterangkan dalam {QS. Al-Baqarah; 178} “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampau batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.”
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN

Telah penulis jelaskan tentang pengertian hukum, Hak Asasi Manusia dan hukuman mati. Maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara Hak Asasi manusia dan hukuman mati tidak dapat dipisahkan. Sebab Hak Asasi manusia yang meliputi hak untuk hidup, keutuhan jasmani dan kebebasan bertentangan dengan hukuman mati. Namun dalam penerapannya, bagaimanapun juga hukuman mati akan tetap dilaksanakan oleh negara-negara yang menggunakan hukuman mati sebagai hukuman yang paling berat.

Negara yang menggunakan hukuman mati, mempunyai dasar bahwa hukuman mati akan tetap dilaksanakan apabila terhukum melakukan tindak pidana berat. Dan negara yang tidak menggunakan hukuman mati, menggunakan hukuman penjara seumur hidup sebagai ganti dari pada hukuman mati.

Islam sebagai salah satu agama yang menganjurkan diadakannya hukuman qisas bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan yang tidak manusiawi dan terlalu keji. Disini Islam tidak menitik beratkan apakah hukum qisas tersebut melanggar Hak Asasi atau tidak namun lebih ditekankan kepada keadilan. Sebab secara tidak sadar, hukum qisas adalah hukuman yang adil yang selama ini dicari demi tegaknya keadilan. Dan disini penulis menyetujui apabila hukum qisas ditegakkan.

4.2 SARAN

Dengan melihat beberapa hal diatas, dan demi terciptanya keadilan sesuai dengan Hak Asasi Manusia dalam penegakan hukum ada baiknya apabila negara ini mencoba untuk menggunakan hukum qisas. Sebab selama ini mereka yang menentang hukuman qisas terutama hukuman mati hanya memandang hak hidup terhukum, namun tidak melihat kembali hak asasi atas korban.

DAFTAR PUSTAKA
Kasim, Ifdhal. 2001. Hak sipil dan Politik. Jakarta: Lembaga studi dan Advokasi Masyarakat.
SP, Wasis.2002. Pengantar Ilmu Hukum. Malang:UMM Pres.
Dirdjosisworo, Soedjono. 2002. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Bandung:PT Citra Aditya Bakti.
Rasjid, Sulaiman. 1954. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algesindo Offset.

by NP. yuanda ogi pramana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar