Selasa, 22 Maret 2011

PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN BAGI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

PENEGAKAN HUKUM DAN KEADILAN BAGI PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
A.     Pendahuluan
Bergulirnya iklim reformasi dan demokratisasi di Indoseia dalam kurun waktu lima tahun terakhir telah membawa angin perubahan berupa kebebasan berekspresi yang sangat bebas. Kebebasan tersebut pada beberapa kesempatan telah “kebabalasan” bahkan berujung pada konflik horisontal maupun konflik vertikal. Konflik yang tidak terkelola dengan baik ditambah dendam masa lalu pada masa Pemerintahan Orde Baru, yang sangat otoriter berdampak pada kekerasan bahkan telah terjadi konflik bersenjata. Bahkan beberapa daerah telah jatuh korban berjumlah ratusan bahkan mungkin ribuan. Terjadi pula pengusiran dan pemusnahan kelompok etnis tertentu (genocide) oleh kelompok etnis lain. Kekerasan, kontak senjata dan pemusnahan etnis seakan menjadi “menu utama”  berbagai media di tanah air.
Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial, yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horisontal (antarwarga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam kategori pelanggaran hak asasi manusia yang berat (gross violation of human rights).
Pada kenyataannya selama lebih lima tujuh tahun usia Republik Indonesia, pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau penegakan hak asasi manusia masih jauh dari memuaskan. Hal tersebut tercermin dari kejadian berupa penangkapan yang tidak sah, penculikan, penganiayaan, perkosaan, penghilangan paksa, pembunuhan, pemusnahan kelompok etnis tertentu, pembakaran sarana pendidikan dan tempat ibadah, dan teror bom yang semakin berkembang. Selain itu, terjadi pula penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik dan aparat penegak hukum, pemelihara keamanan, dan pelindung rakyat, tetapi justru mengintimidasi, menganiaya, menghilangkan paksa dan/atau menghilangkan nyawa. Bahkan pada beberapa kesempatan yang lalu, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus pelanggaran HAM berat Timtim telah membebaskan sebagian terbesar para Jendaral Angkatan Darat dari segala tuntutan hukum.
Padahal secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Terbentuknya seperangkat peraturan tentang Hak Asasi Manusia, Komnas HAM dan aparatur penegak dan kelembagaan peradilan HAM, ternyata belum menunjukkan hasil yang memuaskan dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat. Pelanggaran HAM masih terjadi di berbagai wilayah nusantara dan pelanggaran HAM di masa lalu belum tertangani secara serius. Maka, menjadi satu pertanyaan besar bagi masyarakat adalah apakah yang masih perlu dibenahi untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia pada seluruh rakyat ?
B. Pembahasan
Bergulirnya reformasi yang diikuti dengan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia berdampak pada upaya penegakan hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sebagai negara demokrasi menunjukkan salah satu ciri negara demokrasi adalah proteksi konstitusional atau kekuasaan negara dilaksanakan berdasarkan konstitusi (rechstaats) bukan atas kekuasaan belaka. Konstitusi kita mengatur pula tentang perlindungan hak asasi manusia.
Kewajiban menghormati hak asasi manusia tersebut tercermin dalam Pembukaan UUD 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dalam batang tubuhnya, terutama berkaitan dengan persamaan kedudukan warga negara dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan memeluk agama dan untuk beribadat sesuai agama dan kepercayaanya itu, hak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Perlindungan hak asasi manusia dalam konstitusi setelah amandemen kedua (18 Agustus 2000) terdapat pada Bab X, Bab XA,Bab XI, Bab XII, dan Bab XIII.
Dalam perspektif nilai-nilai universal, kejahatan atau pelanggaran terhadap hak asasi manusia, bukan hal baru. Nilai-nilai HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri setiap manusia, bersifat universal dan langgeng sehingga harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan , dikurangi atau dirampas oleh siapa pun. Dalam konteks internasional, upaya untuk mewujudkan penghormatan dan perlindungan nilai-nilai HAM tersebut, antara lain terdokumentasi dalam suatu human right law yang secara populer dikenal dengan istilah The International Bill of Human Rights (berisi empat dokumen PBB yaitu Universal Declaration of Human Rights 1948, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights 1966, International Covenant on Civil and Political 1966 dan Optional Protocol to The International Covenant on Civil and Political Rights 1966).
Perlindungan hak asasi manusia di Indonesia secara lebih jelas dan terinci diatur pada Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-undang tersebut secara rinci mengatur mengenai hak untuk hidup, dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama. Selain mengatur hak asasi manusia, diatur pula mengenai kewajiban dasar, serta tugas dan tanggungjawab pemerintah dalam penekan hak asasi manusia.
Kejahatan hak asasi manusia sebagai pelanggaran HAM yang berkategori berat, adalah extra ordinary crimes (kejahatan kuar biasa) dan berdampak secara luas baik pada tingkat nasional maupun internasional dan bukan merupakan tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta menimbulkan kerugian baik materiel maupun immateriel yang mengakibatkan perasaan tidak aman baik terhadap perseorangan maupun masyarakat, sehingga perlu segera dipulihkan dalam mewujudkan supremasi hukum untuk mencapai kedamaian, ketertiban, ketentraman, kedailan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Dalam konteks diatas jenis dan indikator kejahatan HAM yang bersifat berat, meliputi :
  1. Kejahatan Genosida, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :
    1. membunuh anggota kelompok;
    2. mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
    3. menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya;
    4. memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau
    5. memidahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
  2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (crimes against humanity), yaitu salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa :
    1. pembunuhan;
    2. pemusnahan;
    3. perbudakan;
    4. pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
    5. perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional;
    6. penyiksaan;
    7. perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
    8. penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
    9. penghilangan orang secara paksa; atau
    10. kejahatan apartheid (Pasal 7, 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000).

Harus diakui, bahwa istilah “Kejahatan HAM” relatif baru mengemuka sebagai wacana , sekaligus tuntutan publik untuk menyelesaikannya di saat orde reformasi terus bergulir, dengan euphorianya berusaha “menguliti” berbagai macam kejahatan di masa sebelumnya. Diantara kejahatan masa lalu yang dalam tiga tahun terakhir mendapat sorotan tajam ialah jenis kejahatan (kekerasan) struktural yang melibatkan aparat negara, terutama militer, dengan korban penduduk sipil. Kasus-kasus seperti kasus Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Tanjung Priok, 27 Juli, Timor Timur Pasca Jajak Pendapat, Semanggi I dan II, dan Triskati, adalah sederetan contoh yang telah melahirkan kesadaran sekaligus desakan dari berbagai kalangan yang peduli terhadap perlunya perlindungan hak-hak asasi manusia melalui piranti hukum dan kinerja institusi penegaknya.
Untuk kasus Indonesia, upaya pelembagaan konsep perlindungan HAM dengan cara meregulasikannya dalam undang-undang agar dapat ditegakkan sewaktu-waktu terjadi pelanggaran terhadapnya, tampaknya bukan persoalan mudah. Terlebih lagi apabila dengan maksud untuk “menyeret” ke meja hijau para pelaku pelanggaran HAM masa lampau sebelum undang-undang HAM berlaku. Hal ini karena adanya beberapa problem yang menyertainya, pertama, secara yuridis upaya tersebut akan bertentangan dengan asas legalitas. Kedua, sebagian besar pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat atau pejabat negara cenderung bersifat politis dan dalam kerangka melaksanakan kebijakan-kebijakan politis tertentu dari penguasa. Fakta demikian tentunya sanagat mudah untuk dijadikan basis argumentasi bahwa pengadilan HAM hakikatnya adalah pengadilan terhadap kebijakan pemerintahan negara. Pandangan inilah yang sering menyebabkan pihak-pihak yang diduga terlibat pelanggaran HAM mengambil sikap tidak mau dan merasa tidak perlu bertanggung jawab.
Ketiga, konsep HAM sebagai wacana yang relatif masih baru di Indonesia, diperkirakan dapat menjadi problem tersendiri terutama pada tataran implementasi oleh aparat penegak hukum, baik jaksa maupun hakim ad hoc. Keempat, beberapa kelemahan substansial yang terdapat dalam undang-undang Pengadilan HAM, secara politis mudah dimanfaatkan kelompok-kelompok tertentu untuk menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM. Misalnya ketentuan dalam UU No. 26 Tahun 2000 menegaskan bahwa pengadilan HAM ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan HAM masa lalu hanya dapat dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) dan dengan dasar Keputusan Presiden. Pengalaman empirik membuktikan adanya intervensi kepentingan politik terhadap implementasi UU tentang pengadilan HAM, yakni gagalnya upaya memperadilankan secara ad hoc kasus Tri Sakti dan Semanggi.
Berdasarkan keempat kendala tersebut diatas, dapat kita kaji satu per satu jalan keluar untuk mengatasi kendala tersebut. Pertama untuk penyelesaian kemungkinan terjadinya pelanggaran asas legalitas, maka ada ketentuan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, dapat dikecualikan dalam hal pelanggaran HAM yang digolongkan ke dalam kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 4 UU No. 39/1999). Prinsip tersebut sesuai dengan ciri kejahatan hak asasi manusia yaitu extra ordinary crime/ kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan langkah-langkah penanganan yang luar biasa. Kedua adalah adanya hambatan yang bersifat politis sebagai akibat dari suatu kebijakan penguasa. Hambatan kedua tersebut dapat diatasi dengan pendekatan pola pikir penegakan hukum progresif yaitu menjadikan hukum sebagai panglima dan mengesampingkan faktor-faktor politis. Bahwa setiap pembuat kebijakan dan komando pelaksana, serta operator di lapangan bertanggungjawab secara hukum. Seorang pengambil kebijakan yang tidak berbuat/ melakukan pembiaran terjadinya pelanggaran HAM padahal dia mempunyai kewenangan untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dapat dijerat dengan ketentuan hukum tentang HAM.
Kendala ketiga adalah konsep hak asasi manusia sebagai wacana yang relatif baru di Indonesia, sulit untuk diimplementasikan. Hal tersebut tidak seluruhnya benar, namun dalam beberapa kesempatan memang ada beberapa kendala sebagai akibat kurangnya pemahaman terhadap konsep HAM.  Kendala tersebut tidak hanya dialami oleh aparat penegak hukum, namun juga oleh masyarakat secara luas dan aparatur keamanan. Kelemahan pemahaman tentang hak asasi manusia bagi kalangan aparatur negara bagi sipil maupun militer mengakibatkan keragu-raguan dalam melaksanakan kewajiban dan tugas serta tanggungjawabnya. Hal ini terjadi karena adanya kekhawatiran terjadinya pelanggaran hak asasi manusia atau takut dicap repreif seperti rezim orde baru. Pemahaman tentang konsep hak asasi manusia bagi seluruh kalangan/ lapisan masyarakat sebenarnya menjadi tugas bersama Komnas HAM dan seluruh warga bangsa melalui civil education/ pendidikan kewarganegaraan.
Tujuan Komnas HAM sebagaimana amanat konstitusi sebagai lembaga mandiri adalah mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia dan meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.  Untuk mencapainya Komnas HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak asasi manusia. Dalam kaitannya dengan civil education, Komnas HAM bertugas dan berwenang melakukan penyebarluasan wawasan mengenai hak asasi manusia kepada masyarakat, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai kalangan lainnya, serta bekerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.
Kendala keempat yaitu adanya kepentingan kelompok-kelompok tertentu yang berupaya menggagalkan terwujudnya peradilan atas kejahatan HAM, dapat diatasi melalui pemahaman konsep HAM dan penegakan hukum di kalangan politisi dan mendorong political will DPR yang mempunyai kewenangan merekomendasikan pelanggaran HAM berat. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk melakukan “sterilisasi” agar keputusan-keputusan DPR dapat benar-benar terjaga “kebersihannya” dari interrest-interrest politik alias tetap fair dan obyektif yuridis.
Konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat dapat dilakukan juga melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi/ KKR  apabila kasus pelanggaran HAM berat masa lampau tersebut setelah melalui penyelidikan secara mendalam oleh Komnas HAM tidak prospektif dan akan mengalami banyak kendala jika diselesaikan melalui jalur pengadilan. Upaya-upaya tersebut diatas untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lampau diharapkan dapat berjalan dengan baik sehingga tujuan perlindungan HAM dapat tercapai dan dapat mencegah terjadinya/ terulangnya pelanggaran serupa dimasa mendatang. Dengan penegakan hukum dan keadilan maka perlindungan hak asasi manusia warga negara Indonesia dapat tercapai sesuai cita-cita negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) atau negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
C. Penutup
Di atas segalanya, terlepas dari kekurangan dan kelebihannya ketentuan mengenai hak asasi manusia yang dimiliki bangsa Indonesia sekarang ini, yang jelas masyarakat nasional dan internasional sedang berharap besar atas terselenggaranya perlindungan hak asasi manusia di Indonesia yang benar-benar obyektif, fair dan berprinsip pada kaidah-kaidah hukum universal serta steril dari berbagai kontaminasi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Peningkatan pemahaman terhadap konsep hak asasi manusia kepada seluruh komponen masyarakat perlu lebih ditumbuh kembangkan dan diperdalam, sesuai doktrin hukum yang bersifat universal, yaitu hukum sebagai sarana pendidikan dan pembaharuan masyarakat (social reform). Dan karena itu ketidaktahuan atau kekurang pahaman masyarakat akan hukum tentang perlindungan hak asasi manusia tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan hukum secara sistematis.

NP. Muhammad Ahyaul Fitra

1 komentar: