Selasa, 22 Maret 2011

KEBIJAKAN PUBLIK


“Paradigma baru kebijakan publik adalah kembalinya peran dasar pemerintah sebagai public service, jadi baik penerimaan maupun pengeluaran berorientasi kepada pelayanan publik. Paradigma baru tidak bisa diterjemahkan sebagai penambahan beban bagi masyarakat.” Dr. H. Masykur Wiratmo (alm) Kebijakan publik adalah keputusan-keputusan yang mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar yang dibuat oleh pemegang otoritas publik. Sebagai keputusan yang mengikat publik maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh otoritas politik, yakni mereka yang menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui suatu proses pemilihan untuk bertindak atas nama rakyat banyak. Selanjutnya, kebijakan publik akan dilaksanakan oleh administrasi negara yang di jalankan oleh birokrasi pemerintah. Fokus utama kebijakan publik dalam negara modern adalah pelayanan publik, yang merupakan segala sesuatu yang bisa dilakukan oleh negara untuk mempertahankan atau meningkatkan kualitas kehidupan orang banyak. Menyeimbangkan peran negara yang mempunyai kewajiban menyediakan pelayan publik dengan hak untuk menarik pajak dan restribusi; dan pada sisi lain menyeimbangkan berbagai kelompok dalam masyarakat dengan berbagai kepentingan serta mencapai amanat konstitusi. Setiap sistem politik pada dasarnya memproduksi kebijakan publik. Dan sistem politik itu bisa berupa negara, propinsi, kabupaten/kota, desa, bahkan RT dan RW. “Institusi” seperti ASEAN, PBB dan WTO adalah sistem politik juga, yang dapat disebut supra-negara.
               Kebijakan publik tidak selalu dilakukan oleh birokrasi (saja), melainkan dapat pula dilaksanakan oleh perusahaan swasta, LSM ataupun masyarakat langsung. Misalnya, suatu sistem politik dapat memutuskan untuk memberantas nyamuk. Sistem politik itu dapat memerintah –tentu saja disertai kompensasi—sebuah perusahaan swasta untuk melakukan penyemprotan nyamuk. Terminologi kebijakan publik menunjuk pada serangkaian peralatan pelaksanaan yang lebih luas dari peraturan perundang-undangan, mencakup juga aspek anggaran dan struktur pelaksana. Siklus kebijakan publik sendiri bisa dikaitkan dengan pembuatan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Bagaimana keterlibatan publik dalam setiap tahapan kebijakan bisa menjadi ukuran tentang tingkat kepatuhan negara kepada amanat rakyat yang berdaulat atasnya. Dapatkah publik mengetahui apa yang menjadi agenda kebijakan, yakni serangkaian persoalan yang ingin diselesaikan dan prioritasnya, dapatkah publik memberi masukan yang berpengaruh terhadap isi kebijakan publik yang akan dilahirkan. Begitu juga pada tahap pelaksanaan, dapatkah publik mengawasi penyimpangan pelaksanaan, juga apakah tersedia mekanisme kontrol publik, yakni proses yang memungkinkan keberatan publik atas suatu kebijakan dibicarakan dan berpengaruh secara signifikan. Kebijakan publik menunjuk pada keinginan penguasa atau pemerintah yang idealnya dalam masyarakat demokratis merupakan cerminan pendapat umum (opini publik). Untuk mewujudkan keinginan tersebut dan menjadikan kebijakan kebijakan tersebut efektif, maka diperlukan sejumlah hal: pertama, adanya perangkat hukum berupa peraturan perundang-undangan sehingga dapat diketahui publik apa yang telah diputuskan; kedua, kebijakan ini juga harus jelas struktur pelaksana dan pembiayaannya; ketiga, diperlukan adanya kontrol publik, yakni mekanisme yang memungkinkan publik mengetahui apakah kebijakan ini dalam pelaksanaannya mengalami penyimpangan atau tidak. Dalam masyarakat autoriter kebijakan publik adalah keinginan penguasa semata, sehingga penjabaran di atas tidak berjalan. Tetapi dalam masyarakat demokratis, yang kerap menjadi persoalan bagaimana menyerap opini publik dan membangun suatu kebijakan yang mendapat dukungan publik.
               Kemampuan para pemimpin politik untuk berkomunikasi dengan masyarakat untuk menampung keinginan mereka adalah satu hal, tetapi sama pentingnya adalah kemampuan para pemimpin untuk menjelaskan pada masyarakat kenapa suatu keinginan tidak bisa dipenuhi. Adalah naif untuk mengharapkan bahwa ada pemerintahan yang bisa memuaskan seluruh masyarakat setiap saat, tetapi adalah otoriter suatu pemerintahan yang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh aspirasi dan berusaha mengkomunikasikan kebijakan yang berjalan maupun yang akan dijalankannya. Dalam pendekatan yang lain kebijakan publik dapat dipahami dengan cara memilah dua konsepsi besarnya yakni kebijakan dan publik. Terminologi kebijakan dapat diartikan sebagai pilihan tindakan diantara sejumlah alternatif yang tersedia. Artinya kebijakan merupakan hasil menimbang untuk selanjutnya memilih yang terbaik dari pilihan-pilihan yang ada. Dalam konteks makro hal ini kemudian diangkat dalam porsi pengambilan keputusan. Charles Lindblom adalah akdemisi yang menyatakan bahwa kebijakan berkaitan erat dengan pengambilan keputusan. Karena pada hakikatnya sama-sama memilih diantara opsi yang tersedia. Sedangkan terminologi publik memperlihatkan keluasan yang luar biasa untuk didefinisikan. Akan tetapi dalam hal ini setidaknya kita bisa mengatakan bahwa publik berkaitan erat dengan state, market dan civil society, Merekalah yang kemudian menjadi aktor dalam arena publik. Sehingga publik dapat dipahami sebagai sebuah ruang dimensi yang menampakan interaksi ketiga actor tersebut.   Dalam pelaksanaannya, kebijakan publik ini harus diturunkan dalam serangkaian petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang berlaku internal dalam birokrasi. Sedangkan dari sisi masyarakat, yang penting adalah adanya suatu standar pelayanan publik, yang menjabarkan pada masyarakat apa pelayanan yang menjadi haknya, siapa yang bisa mendapatkannya, apa persyaratannya, juga bagaimana bentuk layanan itu. Hal ini akan mengikat pemerintah (negara) sebagai pemberi layanan dan masyarakat sebagai penerima layanan. Fokus politik pada kebijakan publik mendekatkan kajian politik pada administrasi negara, karena satuan analisisnya adalah proses pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi dan pengawasan termasuk pelaksanaannya. Dengan mengambil fokus ini tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan kekuatan politik atau budaya politik sebagai variabel bebas dalam upaya menjelaskan kebijakan publik tertentu sebagai variabel terikat. Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan keinginan dari pelaku (Miriam Budiardjo, 2002). Kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi (Ramlan Surbakti, 1992).
       Di negara demokrasi, dimana kekuasaan adalah ditangan rakyat, maka jalan menuju kekuasaan selain melalui jalur birokrasi biasanya ditempuh melalui jalur partai politik. Partai politik selnjutnya mengirimkan calon anggota untuk mewakili partainya dalam lembaga legislatif. Dalam pemilihan umum legislatif secara langsung seperti yang terjadi di Indonesia dalam Pemilu 2004 maka calon anggota legislatif dipilih langsung oleh rakyat.
     Kekuasaan cenderung korup adalah ungkapan yang sering kita dengar, atau dalam bahasa Inggrisnya adalah Power tends to crrupct. Apa benar?? Memang belum tentu benar, tetapi ungkapan tersebut tentu telah melalui penelitian dan pengalaman bertahun-tahun. Jangan heran jika banyak orang menyebut bahwa ‘kebijakan dibuat untuk dilanggar’. Dengan dalih untuk kepentingan umum, kini kebijakan sulit dipercaya, sebagian menduga kebijakan tak lain untuk memenangkan kelompok tertentu. Kebijakan publik adalah kalimat yang kini banyak diadopsi oleh semua gerakan masyarakat sipil. Dengan mengaitkan semua perjuangan sosial pada bendera kebijakan publik maka diharapkan ada kucuran uang yang mengalir. Kebijakan baru dibuat kini bisa dibayangkan sebagai ‘lahan’ garapan yang hanya memuaskan perut dan hawa nafsu kelompok tertentu. Bahkan parahnya mereka seakan tidak tahu malu mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat secara terang-terangan. Kita tahu bahwa kebijakan semata dibuat untuk memperbaiki semua keadaan, namun kini terbalik kebijakan hanya dijadikan tameng kelompok tertentu yang memiliki kepentingan lain di atas kebijakan yang dibuat. Fadillah Putra, Dosen Unibraw Malang dalam bukunya yang berjudul Kebijakan Tidak untuk Kepentingan Publik, mencoba mengungkapkan dengan tajam dan satir mengenai kebijakan publik meminggirkan peran rakyat. Menghadap kita pada kenyataan-kenyataan yang memunculkan berbagai pertanyaan, sesungguhnya kebijakan berpihak pada siapa? Karena sudah banyak kebijakan yang lahir tanpa melalui pertimbangan kemanusiaan, dan buah dari kebijakan inilah yang membawa musibah bagi publik. Faktanya kebijakan publik bukannya untuk menentramkan, malah menyengsarakan. Sedangkan kebijakan yang menindas kaum miskin, seolah menjadi hal yang lumrah. Fadillah mencoba menggambarkan beberapa kebijakan pemerintah yang bukan mencari solusi namun menambah persoalan baru, baginya semua cara akan menjadi halal apabila banyak yang ‘menikmati’. Pemikiran Fadillah ternyata cukup mewakili aspirasi dan realitas yang ada di Provinsi Banten, kita ingat menjelang Pemilu 2004 silam anggota DPRD Banten membuat kebijakan anggaran untuk dana Perumahan mereka, dana perumahan di ambil dari dana tak terduga yang seharusnya dana tersebut di peruntukkan sebagai dana taktis yang dapat di gunakan sewaktu-waktu apabila terjadi sesuatu musibah yang terjadi di masyarakat, di saat itu terjadi kebanjiran di wilayah labuan Pandeglang. Pemprov Banten tak berdaya karena dana tak terduga sudah di belanjakan untuk mengontrak rumah sendiri Pimpinan dan Anggota DPRD Provinsi Banten yang penuntasannya hingga kini masih “tebang pilih”. Melalui Lobi dan deal politik dengan para petinggi birokrasi memuluskan ambisi melalui produk kebijakan publik. Kalau sudah begini yang namanya money politics tentu menjadi kewajiban. Kebijakan publik di sektor tata ruang sering kali tdak memiliki sensitivitas terhadap lingkungan hidup, entah terlampau teknokratik atau ekonomis. Sehingga andaikata kebijakan publik dilaksanakan dengan jujur dan tanpa KKN sekalipun, bila masih teknokratik, lingkungan akan tetap rusak, sebab semuanya dihitung secara ekonomis. Seperti halnya dalam penentuan pusat Ibukota Kabupaten Serang yang lalu di Kecamatan Baros, sangat menafikan aspirasi masyarakat Kabupaten Serang yang selama ini menginginkan adanya pemekaran, di samping Baros sebagai kawasan hijau dan daerah resapan yang amat potensial merusak lingkungan. Kebijakan tata ruang dibuat untuk memberikan keuntungan pengusaha properti tertentu. Cukong-cukong tanah, si pengusaha properti memberi sogokan dan pemerintah memberi fasilitas kebijakan. Smith mengatakan ada empat variabel yang perlu diperhatikan dalam proses kebijakan. Pertama, idealized policy yakni pola interaksi yang secara ideal mendorong, mempengaruhi dan merangsang target grup dalam pelaksanaannya. Kedua, target grup, bagian dari policy stakeholders diharapkan sebagai perumus kebijakan yang dapat menyesuaikan pola perilaku dengan kebijakan yang dirumuskan. Ketiga, implementing organization adalah badan pelaksana atau unit birokrasi pemerintah yang bertanggung jawab dalam kebijakan. Keempat, environmenental factor, yaitu unsur-unsur dalam lingkungan yang mempengaruhi kebijakan (seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik). Jika kita mengacu pada pola Smith, maka bukan mustahil jika kebijakan yang kita buat benar-benar adil tanpa ada pihak lain yang mengambil keuntungan dari kebijakan tersebut.
      Analisis Kebijakan Publik, Konsep dan Aplikasi Analisis Proses Kebijakan Publik yang ditulis oleh DR. Joko Widodo, M.S, seorang widyaiswara Diklatpim Jawa Timur dengan ringan membahas dasar-dasar analisis kebijakan publik. DR. Joko Widodo, M.S., memberikan gambaran situasi pasca reformasi, dimana pemerintah saat ini sedang mengupayakan otonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Dan memang karena beliau orang daerah, maka otonomi daerah menjadi dasar pijakan beliau untuk memulai uraian analisis kebijakan publik. Untuk menghadapi situasi yang ada sekarang ini, menuntut ditingkatkannya profesionalisme mesin birokrasi. “Pemerintahan pada dasarnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat untuk mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama”. Dalam pandangan Weberian prinsip-prinsip mengenai birokrasi, dimana dalam pandangannya, birokrasi diciptakan untuk melayani dan profesional. Sesuai dengan pandangan ini, kinerja birokrasi harus bisa dipertanggungjawabkan kepada khalayak umum, sebab government organizations are created by the public, for the public and need to be accountable to it. Sebuah birokrasi harus akuntable, terbuka dan transparan.

Implementasi kebijakan publik
Kebijakan publik paling tidak mengandung tiga komponen dasar, yaitu:
 (1) tujuan yang hendak dicapai,
(2) sasaran yang spesifik, dan
(3) cara mencapai sasaran tersebut.
     Cara mencapai sasaran inilah yang sering disebut dengan implementasi, yang biasanya diterjemahkan ke dalam program-program aksi dan proyek. Aktivitas implementasi ini biasanya terkandung di dalamnya: siapa pelaksananya, besar dana dan sumbernya, siapa kelompok sasarannya, bagaimana manajemen program atau proyeknya, dan bagaimana keberhasilan atau kinerja program diukur. Secara singkat implementasi kebijakan adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tujuan kebijakan pada hakekatnya adalah melakukan intervensi. Oleh karenanya implementasi kebijakan sebenarnya adalah tindakan (action) intervensi itu sendiri.
Presman dan Wildavsky (1973: xiii) mendefinisikan implementasi kebijakan seperti apa yang dikatakan oleh Webster and Roget, sebagai “to carry out, accomplish, fulfill, produce, complete”. Di sini mereka memulai studi mereka dengan asumsi bahwa implementasi adalah getting things done. Sedang Van Horn dan Van Meter (1975: 447) mengartikan implementasi kebijakan sebagai “those actions by public and private individual (or groups) that are directed at the achivement of objectives set forth in prior policy decisions”.

Martin Rein and Francise Rabinovitz, dalam bukunya Implementation: A Theoritical Perspective (1978), mendefinisikan implementasi kebijakan sebagai :
(a) a declaration of government preferences;
(b) mediated by a number of actors who,
(c) create a circular process characterized by reciprocal power relations and negotiations.
Mereka mengindikasikan bahwa proses implementasi didominasi oleh tiga “potentially conflicting imperatives”, yaitu:
a. The legal imperative (respect for legal intent. To do what is legally required. This imperative stresses the importance of subordinate compliance to rules which derive from legislative mandates along the lines discribed by Lowi’s “classical” theory).
b. The rational bureaucratic imperative (what from a bureaucratic point of view is morally correct, administrative feasible, and intelectually defensible course of action. Emphasis here is on such bureaucratic norms as consistency of principles, workability, and concern for institutional maintenance, protection, and growth).
c. The concensual imperative (to do what is necessary to attract agreement among contending influential parties who have a stake in the outcome)
Mazmanian dan Sabatier (1983) memberikan gambaran bagaimana melakukan intervensi atau implementasi kebijakan dengan langkah sebagai berikut:
(1) mengidentifikasi masalah yang harus diintervensi,
(2) menegaskan tujuan yang hendak dicapai, dan
 (3) merancang struktur proses implementasi.
Program dengan demikian harus disusun secara jelas, jika masih bersifat umum, program harus diterjemahkan secara lebih operasional menjadi proyek. Dalam siklus kebijakan publik, dengan demikian tindakan implementasi kebijakan merupakan salah satu tahapan yang amat penting dari keseluruhan proses kebijakan publik. Implementasi kebijakan merupakan serangkaian kegiatan (tindakan) setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu kegiatan implementasi, maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan akan menjadi sia-sia. Implementasi kebijakan dengan demikian merupakan rantai yang menghubungkan formulasi kebijakan dengan hasil (outcome) kebijakan yang diharapkan. Kelahiran studi implementasi kebijakan di awali oleh banyaknya kegagalan yang dialami oleh negara-negara maju dalam mengimplementasikan berbagai kebijakan publik yang telah dibuat. Sebagai contoh kebijakan Departemen Pertahanan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Ronald Reagen dalam perang di Timur Tengah. Perang ini telah menimbulkan defisit keuangan negara yang sangat besar bagi Amerika Serikat. Warga negara AS kemudian mengkritik pemerintah dan mengancam tidak mau membayar pajak. Pada hal keuangan negara AS sangat tergantung dari pajak yang dibayarkan oleh warganegaranya.
      Kegagalan implementasi kebijakan tersebut kemudian memunculkan minat para pakar kebijakan publik untuk mengkaji dan mencari penyebab kegagalan tersebut. Artinya studi (research) tentang implementasi kebijakan dilakukan untuk mengetahui (mencari) faktor penghambat dan pendukung implementasi suatu kebijakan. Hasil studi yang diperoleh selanjutnya dijadikan referensi (acuan) bagi pelaksanaan kebijakan publik selanjutnya.
PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK
MODEL KEBIJAKAN
(Allison, 1981)
1.      Rational actor;Sosok pemerintah sebagai kotakhitam, spt aktor individual
2.      Organisational process;Kebijakan sebagai output organisasi, dg struktur, system koordinasi, kerjasama antarsatuan, SOP. Ekspektasi terhadap kebijakan: inkremental
3.      Bureaucratic politics; Kebijakan pemerintah adl produk politik, tawar-menawar, tergantung persepsi dan posisi para pelaku. “Where you stand depends on where you sit”.

INSTRUMEN KEBIJAKAN
1.      Peraturan perundangan; Kewenangan membuat peraturan
perundangan adalah sumberdaya unik bagi pemerintah
2.      Layanan umum (public services); Pemerintah = organisasi penyelenggara layanan umum paling besar. Catatan: terkadang swasta & Ornop lebih efektif, efisien
3.      Dana; Ideal: 45% untuk kesra. Di Indonesia: 69% untuk aparat.
4.      Pajak; “The government giveth and the government taketh away”. Pembebasan pajak (tax holiday) & pajak progresif sebagai instrument distribusi.
5.      Imbauan (suasion); Atas nama kepentingan umum, pemerintah punya posisi lebih baik untuk menyampaikan imbauan.

TATA URUTAN PERUNDANGAN
1. UUD 1945
2. Ketetapan MPR
3. Undang-undang
4. Perpu
5. Peraturan Pemerintah
6. Keputusan Presiden
7. Peraturan Daerah.
Catatan:
1. Semua pihak harus dilindungi haknya
2. Efektivitas perundangan berlainlainan. Kelengkapan perundangan tidak menjamin kualitas kebijakan yg baik
3. Pelaksanaan peraturan jauh lebih penting daripada ratifikasinya.

TANTANGAN KEBIJAKAN PUBLIK DI INDONESIA
1. Mewujudkan Negara kesejahteraan (welfare state)
2. Pemberantasan korupsi
3. Partisipasi
4. Desentralisasi
5. Keberagaman
6. Posisi politik internasional
WELFARE STATE UNTUK INDONESIA ?
 Welfare State: Sistem yang memberi peran lebih besar kepada negara (pemerintah) untuk mengalokasikan dana publik demi menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar warganya (Spicker, 1988)
Fakta di Indonesia:
a.      97,5% aset nasional ternyata dimiliki oleh 2,5% konglomerat
(BPS, 1997)
b.       SBY menargetkan pajak sebesar 19% dari PDB tetapi belanja kesejahteraan social hanya 4% dari PDB PROSES KEBIJAKAN (Jones, 1984) Justifikasi Rekomendasi Perubahan Solusi Masukan program ke pemerintah Evaluasi Penyesuaian “Terminasi” Layanan Pembayaran Kemudahan Pengawasan Tanggapan teknis pemerintah terhadap masalah Implementasi Proposal Program Anggaran Tindakan dari pemerintah Formulasi Legitimasi Penganggaran Masalah Tuntutan (demand) Akses Prioritas Masukan masalah ke pemerintah Persepsi Agregasi Organisasi Representasi Penyusunan agenda.
Kegiatan Kategori Produk
MODEL PERUMUSAN AGENDA
a.      Problem stream
b.      Policy stream
c.       Political stream
d.      Agenda


SIAPA YANG TERLIBAT DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN?
a.       Di dalam pemerintahan: eksekutif, birokrat, politisi.
Catatan: ada banyak pihak yang bekerja untuk aktor di pemerintahan: staf ahli, akademisi, kelompok profesional, staf khusus DPR, lembaga penelitian, konsultan, dsb
b.       Di luar pemerintahan: kepentingan pribadi, pengusaha, kelompok kepentingan, kelompok penekan. Masing-masing kelompok ini kemungkinan juga memiliki staf ahli, akademisi, konsultan, atau staf khusus.

KEMAMPUAN YANG DITUNTUT BAGI PERUMUS KEBIJAKAN
a.       Melihat kaitan kebijakan dengan isu eksternal. Mis: isu energi dengan lingkungan
b.       Melihat kaitan dengan isu internal. Misalnya: isu bencana banjir dengan perencanaan kota, konservasi lingkungan
c.        Mengetahui apa yang harus dilakukan; analisis data, pengalaman, intuisi
d.      Mengetahui dampak positif maupun negatif; projektif maupun reaktif.

SUMBERDAYA PERUMUS KEBIJAKAN
1. Inisiasi
2. Staff dan perencanaan
3. Komunikasi dan publisitas
4. Dukungan lembaga
5. Penggalangan antar-elit
6. Pendanaan
7. Sanksi dan control Inisiasi Komunikasi dan publisitas Penggalangan antar-elit Sanksi dan kontrol

SUMBERDAYA IDENTIFIKASI KEKUATAN PENGARUH (Leverage Points)
a.      Isu Tata-ruang
b.      Isu Pengangguran
c.       Isu Lingkungan (Bauer & Gergen, 1968:185)
BIROKRASI: MENGUBAH CONFLICT
MENJADI DISPUTE?
Respon birokrat thd konflik (Ellison, dlm Nagel & Mills, 1991) Inisiasi Stimulasi Eskalasi Cegah / Pendam Persempit / Mediasi Pecahkan / Resolusi Amati Biarkan Abaikan Hindari Sikap Terhadap Konflik:
+ _ Sikap Terhadap Tindakan
+_ LEGITIMIZING POLICIES (Mengabsahkan Kebijakan) Mengapa tidak semua rumusan kebijakan secara otomatis dapat terlaksana?
Persoalan legitimasi:
1.      Tidak semua perumus kebijakan paham tentang proses kebijakan, peka terhadap masalah publik, dan piawai dalam menyepadankan instrumen dan tujuan
2.      Pertentangan antar stake-holders tentang cara memecahkan masalah publik
3.       Banyak kepentingan yang belum terakomodasi
4.      Komunikasi dari para perumus kebijakan kurang efektif dan kurang berhasil meyakinkan publik.

BENTUK-BENTUK IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
a.      Pelayanan; pendidikan, kesehatan, kependudukan
b.      Pembayaran; subsidi, BLT
c.       Kemudahan (access); infrastruktur, listrik, telepon
d.      Pengawasan; IMB, UU antimonopoli.
Tiga pilar implementasi (Jones, 1991):
1. Organisasi
2. Interpretasi
3. Pelaksanaan, prosedur / ketentuan rutin Konteks
Tata-Pemerintahan dan Kebijakan Publik
Outcome sebagai hasil kerjasama Jalur Input Output manajemen public Hasil bersama (coproduction) Penegakan Kinerja (enforcement) Perspektif yang tepat bagi implementasi Mengundang partisipasi Menunjukkan arah kebijakan Penciptaan kurang kerja Penilaian hasil Pembebanan (Imposing).
Analisis Kebjakan
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan. Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan kepada penentu kebijakan agar didapat kebijakan yang lebih berkualitas. Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:
1. Analisis kebijakan prospektif. Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
2.  Analisis kebijakan retrospektif. Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.
3.   Analisis kebijakan yang terintegrasi. Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.
     Salah satu esensi kehadiran kebijakan publik (public policy) adalah memecahkan masalah yang berkembang di masyarakat secara benar. Meskipun demikian, kegagalan sering terjadi karena kita memecahkan masalah secara tidak benar.
     Analisis kebijakan publik (public policy analysis) merupakan upaya untuk mencegah kegagalan dalam pemecahan masalah melalui kebijakan publik. Oleh karena itu, kehadiran analisis kebijakan berada pada setiap tahapan dalam proses kebijakan publik (public policy process). Buku ini membahas analisis kebijakan publik secara kritis, gamblang, dan mudah dipahami karena dalam menganalisis setiap tahapan poses kebijakan publik tidak sekadar disuguhkan teori dan konsep tetapi juga aplikasinya. Dengan demikian, buku ini tidak saja sangat laik dijadikan wacana bagi pembuat kebijakan (policy maker), tetapi juga bagi pelaku dan stakeholder kebijakan publik. Bahkan, sangat laik pula bagi mahasiswa, pemerhati kebijakan publik, dan khalayak sebagai kelompok sasaran (target groups) kebijakan publik.

NP. Muhammad Ahyaul Fitra

1 komentar: